WELCOME TO BLOGGER DEANDRI

Halaman

Minggu, 19 Desember 2010

Laporan Pendahuluan DHF / Demam Berdarah

Konsep dasar Dhf
ASKEP DHF
ASUHAN KEPERAWATAN DHF

A. Definisi
Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut yang disertai dengan adanya manifestasi perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian (Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 419).

Dengue Haemoragic Fever (DHF)
adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Arbovirus (arthropodborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. (Ngastiyah, 1995 ; 341).

Dengue Haemoragic Fever (DHF)
adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan tipe I – IV dengan infestasi klinis dengan 5 – 7 hari disertai gejala perdarahan dan jika timbul tengatan angka kematiannya cukup tinggi (UPF IKA, 1994 ; 201)

Dengue Haemoragic Fever (DHF)
adalah penyakit demam yang berlangsung akut menyerang baik orang dewasa maupun anak – anak tetapi lebih banyak menimbulkan korban pada anak – anak berusia di bawah 15 tahun disertai dengan perdarahan dan dapat menimbulkan syok yang disebabkan virus dengue dan penularan melalui gigitan nyamuk Aedes. (Soedarto, 1990 ; 36).

Dengue Haemoragic Fever (DHF
) adalah penyakit yang terutama terdapat pada anak dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, dan biasanya memburuk pada dua hari pertama (Soeparman; 1987; 16).

B. Etiologi
1. Virus dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus (Arthropodborn virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus dengue tipe 1,2,3 dan 4 keempat tipe virus dengue tersebut terdapat di Indonesia dan dapat dibedakan satu dari yang lainnya secara serologis virus dengue yang termasuk dalam genus flavivirus ini berdiameter 40 nonometer dapat berkembang biak dengan baik pada berbagai macam kultur jaringan baik yang berasal dari sel – sel mamalia misalnya sel BHK (Babby Homster Kidney) maupun sel – sel Arthropoda misalnya sel aedes Albopictus. (Soedarto, 1990; 36).
2. Vektor
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor yaitu nyamuk aedes aegypti, nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan.infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe jenis yang lainnya (Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 420).
Nyamuk Aedes Aegypti maupun Aedes Albopictus merupakan vektor penularan virus dengue dari penderita kepada orang lainnya melalui gigitannya nyamuk Aedes Aegyeti merupakan vektor penting di daerah perkotaan (Viban) sedangkan di daerah pedesaan (rural) kedua nyamuk tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes berkembang biak pada genangan Air bersih yang terdapat bejana – bejana yang terdapat di dalam rumah (Aedes Aegypti) maupun yang terdapat di luar rumah di lubang – lubang pohon di dalam potongan bambu, dilipatan daun dan genangan air bersih alami lainnya ( Aedes Albopictus). Nyamuk betina lebih menyukai menghisap darah korbannya pada siang hari terutama pada waktu pagi hari dan senja hari. (Soedarto, 1990 ; 37).
3. Host
Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya maka ia akan mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna, sehingga ia masih mungkin untuk terinfeksi virus dengue yang sama tipenya maupun virus dengue tipe lainnya. Dengue Haemoragic Fever (DHF) akan terjadi jika seseorang yang pernah mendapatkan infeksi virus dengue tipe tertentu mendapatkan infeksi ulangan untuk kedua kalinya atau lebih dengan pula terjadi pada bayi yang mendapat infeksi virus dengue untuk pertama kalinya jika ia telah mendapat imunitas terhadap dengue dari ibunya melalui plasenta. (Soedarto, 1990 ; 38).


C. PATOFISIOLOGI
Virus dengue yang telah masuk ketubuh penderita akan menimbulkan virtemia. Hal tersebut menyebabkan pengaktifan complement sehingga terjadi komplek imun Antibodi – virus pengaktifan tersebut akan membetuk dan melepaskan zat (3a, C5a, bradikinin, serotinin, trombin, Histamin), yang akan merangsang PGE2 di Hipotalamus sehingga terjadi termo regulasi instabil yaitu hipertermia yang akan meningkatkan reabsorbsi Na+ dan air sehingga terjadi hipovolemi. Hipovolemi juga dapat disebabkan peningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah yang menyebabkan kebocoran palsma. Adanya komplek imun antibodi – virus juga menimbulkan Agregasi trombosit sehingga terjadi gangguan fungsi trombosit, trombositopeni, coagulopati. Ketiga hal tersebut menyebabkan perdarahan berlebihan yang jika berlanjut terjadi shock dan jika shock tidak teratasi terjadi Hipoxia jaringan dan akhirnya terjadi Asidosis metabolik. Asidosis metabolik juga disebabkan karena kebocoran plasma yang akhirnya tejadi perlemahan sirkulasi sistemik sehingga perfusi jaringan menurun jika tidak teratasi terjadi hipoxia jaringan.
Masa virus dengue inkubasi 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari. Virus hanya dapat hidup dalam sel yang hidup, sehingga harus bersaing dengan sel manusia terutama dalam kebutuhan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan tubuh manusia.sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi (1) aktivasi sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilaktosin yang menyebabkan peningkatan permiabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan plasma dari ruang intravaskular ke ekstravaskular, (2) agregasi trombosit menurun, apabila kelainan ini berlanjut akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibatnya akan terjadi mobilisasi sel trombosit muda dari sumsum tulang dan (3) kerusakan sel endotel pembuluh darah akan merangsang atau mengaktivasi faktor pembekuan.
Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan (1) peningkatan permiabilitas kapiler; (2) kelainan hemostasis, yang disebabkan oleh vaskulopati; trombositopenia; dan kuagulopati (Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 419).
Demam berdarah dengue (Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 420)

D. Manifestasi KLINIS infeksi virus dengue
1. Demam
Demam terjadi secara mendadak berlangsung selama 2 – 7 hari kemudian turun menuju suhu normal atau lebih rendah. Bersamaan dengan berlangsung demam, gejala – gejala klinik yang tidak spesifik misalnya anoreksia. Nyeri punggung , nyeri tulang dan persediaan, nyeri kepala dan rasa lemah dapat menyetainya. (Soedarto, 1990 ; 39).

2. Perdarahan
Perdarahan biasanya terjadi pada hari ke 2 jdari demam dan umumnya terjadi pada kulit dan dapat berupa uji tocniguet yang positif mudah terjadi perdarahan pada tempat fungsi vena, petekia dan purpura. ( Soedarto, 1990 ; 39). Perdarahan ringan hingga sedang dapat terlihat pada saluran cerna bagian atas hingga menyebabkan haematemesis. (Nelson, 1993 ; 296). Perdarahan gastrointestinat biasanya di dahului dengan nyeri perut yang hebat. (Ngastiyah, 1995 ; 349).

3. Hepatomegali
Pada permulaan dari demam biasanya hati sudah teraba, meskipun pada anak yang kurang gizi hati juga sudah. Bila terjadi peningkatan dari hepatomegali dan hati teraba kenyal harus di perhatikan kemungkinan akan tejadi renjatan pada penderita . (Soederita, 1995 ; 39).

4. Renjatan (Syok)
Permulaan syok biasanya terjadi pada hari ke 3 sejak sakitnya penderita, dimulai dengan tanda – tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit lembab, dingin pada ujung hidung, jari tangan, jari kaki serta sianosis disekitar mulut. Bila syok terjadi pada masa demam maka biasanya menunjukan prognosis yang buruk. (soedarto ; 39).

KLASIFIKASI DHF
Menurut derajat ringannya penyakit, Dengue Haemoragic Fever (DHF) dibagi menjadi 4 tingkat (UPF IKA, 1994 ; 201) yaitu :
a. Derajat I
Panas 2 – 7 hari , gejala umumtidak khas, uji tourniquet hasilnya positif
b. Derajat II
Sama dengan derajat I di tambah dengan gejala – gejala pendarahan spontan seperti petekia, ekimosa, epimosa, epistaksis, haematemesis, melena, perdarahan gusi telinga dan sebagainya.
c. Derajat III
Penderita syok ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (> 120 / menit) tekanan nadi sempit (<> - 140 mmHg) anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.

WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4 golongan, yaitu :
a. Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji tourniquet positif, trombositipenia, dan hemokonsentrasi.
b. Derajat II
Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie, ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi.
c. Derajat III
Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (>120x/mnt ) tekanan nadi sempit ( £ 120 mmHg ), tekanan darah menurun, (120/80 ® 120/100 ® 120/110 ® 90/70 ® 80/70 ® 80/0 ® 0/0 )
d. Derajat IV
Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teatur (denyut jantung ³ 140x/mnt) anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.

Derajat (WHO 1997):
a. Derajat I : Demam dengan test rumple leed positif.
b. Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan dikulit atau perdarahan lain.
c. Derajat III : Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun/ hipotensi disertai dengan kulit dingin lembab dan pasien menjadi gelisah.
d. Derajat IV : Syock berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.


TANDA DAN GEJALA
Selain tanda dan gejala yang ditampilkan berdasarkan derajat penyakitnya, tanda dan gejala lain adalah :
- Hati membesar, nyeri spontan yang diperkuat dengan reaksi perabaan.
- Asites
- Cairan dalam rongga pleura ( kanan )
- Ensephalopati : kejang, gelisah, sopor koma.

Gejala klinik lain yaitu nyeri epigasstrium, muntah – muntah, diare maupun obstipasi dan kejang – kejang. (Soedarto, 1995 ; 39).
(Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 420)

E. PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSA
Untuk mendiagnosis Dengue Haemoragic Fever (DHF) dapat dilakukan pemeriksaan dan didapatkan gejala seperti yang telah dijelaskan sebelumnya juga dapat ditegakan dengan pemeriksaan laboratorium yakni :
Trombositopenia (<> 20%) leukopenia (mungkin normal atau leukositosis), isolasi virus, serologis (UPF IKA, 1994).
Pemeriksaan serologik yaitu titer CF (complement fixation) dan anti bodi HI (Haemaglutination ingibition) (Who, 1998 ; 69), yang hasilnya adalah
Pada infeksi pertama dalam fase akut titer antibodi HI adalah kurang dari 1/20 dan akan meningkat sampai <> 1/20 dan akan meningkat dalam stadium rekovalensi sampai lebih dari pada 1/2560.
Apabila titer HI pada fase akut > 1/1280 maka kadang titernya dalam stadium rekonvalensi tidak naik lagi. (UPF IKA, 1994 ; 202)
Pada renjatan yang berat maka diperiksa : Hb, PCV berulangkali (setiap jam atau 4-6 jam apabila sudah menunjukan tanda perbaikan) faal haemostasis x-foto dada, elektro kardio gram, kreatinin serum.
Dasar diagnosis Dengue Haemoragic Fever (DHF)WHO tahun 1997:
Klinis:
- Demam tinggi dengan mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari.
- Menifestasi perdarahan petikie, melena, hematemesis (test rumple leed).
- Pembesaran hepar.
- Syock yang ditandai dengan nadi lemah, cepat, tekanan darah menurun, akral dingin dan sianosis, dan gelisah.
Laboratorium:
- Trombositopenia (<> 5
Disertai Hb ¯

¯
Darah

PCV tetap tinggi dari harga normal
¯
Plasma
Sumber : Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD x.

Sedangkan penatalaksanaan Dengue Haemoragic Fever (DHF) menurut UPF IKA, 1994 ; 203 – 206 adalah.
Hiperpireksia (suhu 400C atau lebih) diatasi dengan antipiretika dan “surface cooling”. Antipiretik yang dapat diberikan ialah golongan asetaminofen,asetosal tidak boleh diberikan
Umur 6 – 12 bulan : 60 mg / kali, 4 kali sehari
Umur 1 – 5 tahun : 50 – 100 mg, 4 sehari
Umur 5 – 10 tahun : 100 – 200 mg, 4 kali sehari
Umur 10 tahun keatas : 250 mg, 4 kali sehari.
a. Oral ad libitum atau
b.1 infus cairan ringer laktat dengan dosis 75 ml / kg BB / hari untuk anak dengan BB <> 5
Disertai Hb ¯

¯
Darah

PCV tetap tinggi dari harga normal
¯
Koloid
+
Atasi Asidosis
Sumber : RSUD x.

Sedangkan penatalaksanaan Dengue Haemoragic Fever (DHF) menurut UPF IKA, 1994 ; 203 – 206 adalah.
a. Berikan infus Ringer Laktat 20 mL/KgBB/1 jam
Apabila menunjukkan perbaikan (tensi terukur lebih dari 80 mmHg dan nadi teraba dengan frekuensi kurang dari 120/mnt dan akral hangat) lanjutkan dengan Ringer Laktat 10 mL/KgBB/1jam. Jika nadi dan tensi stabil lanjutkan infus tersebut dengan jumlah cairan dihitung berdasarkan kebutuhan cairan dalam kurun waktu 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi dengan sisa waktu ( 24 jam dikurangi waktu yang dipakai untuk mengatasi renjatan ). Perhitungan kebutuhan cairan dalam 24 jm diperhitungkan sebagai berikut :
· 100 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB <> 5
Disertai Hb ¯

¯
Darah

PCV tetap tinggi dari harga normal
¯
Koloid
+
Atasi Asidosis

Sumber : Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr Soetomo Surabaya.

Sedangkan penatalaksanaan Dengue Haemoragic Fever (DHF) menurut UPF IKA, 1994 ; 203 – 206 adalah.
a. Berikan cairan RL sebanyak 30 ml/Kg BB/1 jam, bila keadaan baik (T > 80 mmHg dan nadi <> 120 x/menit akral hangat atau akral dingin maka klien ini sebaiknya diberikan plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 ml/Kg BB/1 jam dan dapat diulangi maksimal sampai 30 ml/Kg BB/24 jam. Jika keadaan umum membaik lanjutkan pemberian RL dengan perhitungan sebagai berikut :
Kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan.
Perhitungan kebutuhan cairan seperti yang tertera pada 2.a.

e. Jika tata laksana grade IV setelah 2 jam sesudah plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 20 ml/Kg BB/1 jam dan RL 10 ml/Kg BB/1 jam tidak menunjukkan perbaikan T = 0, N = 0 maka klien ini perlu dikonsultasikan ke bagian anestesi untuk dievaluasi kebenaran cairan yang dibutuhkan apabila sudah sesuai dengan yang masuk. Dalam hal ini perlu monitor dengan pemasangan CVP, gunakan obat Dopamin, Kortikosteroid dan perbaiki kelainan yang lain.

f. Jika tata laksana grade IV setelah 2 jam sesudah plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 20 ml/Kg BB/1 jam dan RL 30 ml/Kg BB/1 jam belum menunjukkan perbaikan yang optimal (T <> 120 x/menit), maka klien ini perlu diberikan lagi plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 ml/Kg BB/1 jam. Jika reaksi perbaikan tidak tampak, maka klien ini perlu dikonsultasikan ke bagian anestesi.

g. Jika tata laksana grade IV sesudah memperoleh plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 ml/Kg BB/1 jam dan RL 30 ml/Kg BB/1 jam belum menunjukkan perbaikan yang optimal (T > 80, N <>DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarata.

Carpenito, Lynda Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2, (terjemahan). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Junadi, Purnawan. (1982). Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.

Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.

Ngastiyah (1997). Perawatan Anak Sakit. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Soeparman. (1987). Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi kedua. Penerbit FKUI. Jakarta.

Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak. Penerbit buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Suharso Darto (1994). Pedoman Diagnosis dan Terapi. F.K. Universitas Airlangga. Surabaya.

(1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo Surabaya

ASKEP ANAK DENGAN DHF

  1. TEORI

    Pengertian

    Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (Christantie Efendy,1995 ).

    Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (betina) (Seoparman , 1990).

    DHF adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegypty dan beberapa nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara efidemik. (Sir,Patrick manson,2001).

    Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypty (Seoparman, 1996).

    Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam.

    Etiologi

    1. Virus dengue sejenis arbovirus.

    2. Virus dengue tergolong dalam family Flavividae dan dikenal ada 4 serotif, Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke II, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue berbentuk batang, bersifat termoragil, sensitif terhadap in aktivitas oleh diatiter dan natrium diaksikolat, stabil pada suhu 70 oC. Keempat serotif tersebut telah di temukan pula di Indonesia dengan serotif ke 3 merupakan serotif yang paling banyak.

    Patofisiologi

    Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty dan kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus-antibody. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a,dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat sebagai factor meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu.

    Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan factor penyebab terjadinya perdarahan hebat , terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.

    Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah , menurunnya volume plasma , terjadinya hipotensi , trombositopenia dan diathesis hemorrhagic , renjatan terjadi secara akut.

    Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoxia jaringan, acidosis metabolic dan kematian.

    Tanda dan gejala

    1. Demam tinggi selama 5 – 7 hari

    2. Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi.

    3. Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, ptechie, echymosis, hematoma.

    4. Epistaksis, hematemisis, melena, hematuri.

    5. Nyeri otot, tulang sendi, abdoment, dan ulu hati.

    6. Sakit kepala.

    7. Pembengkakan sekitar mata.

    8. Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening.

    9. Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah menurun, gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah).

    Komplikasi

    • Perdarahan luas.

    • Shock atau renjatan.

    • Effuse pleura

    • Penurunan kesadaran.

    Klasifikasi

    1. Derajat I :

      Demam disertai gejala klinis lain atau perdarahan spontan, uji turniket positi, trombositopeni dan hemokonsentrasi.

    2. Derajat II :

      Manifestasi klinik pada derajat I dengan manifestasi perdarahan spontan di bawah kulit seperti peteki, hematoma dan perdarahan dari lain tempat.

    3. Derajat III :

      Manifestasi klinik pada derajat II ditambah dengan ditemukan manifestasi kegagalan system sirkulasi berupa nadi yang cepat dan lemah, hipotensi dengan kulit yang lembab, dingin dan penderita gelisah.

    4. Derajat IV :

      Manifestasi klinik pada penderita derajat III ditambah dengan ditemukan manifestasi renjatan yang berat dengan ditandai tensi tak terukur dan nadi tak teraba.

    Pemeriksaan penunjang

    1. Darah

      • Trombosit menurun.

      • HB meningkat lebih 20 %

      • HT meningkat lebih 20 %

      • Leukosit menurun pada hari ke 2 dan ke 3

      • Protein darah rendah

      • Ureum PH bisa meningkat

      • NA dan CL rendah

    2. Serology : HI (hemaglutination inhibition test).

      • Rontgen thorax : Efusi pleura.

      • Uji test tourniket (+)

    Penatalaksanaan

    1. Tirah baring

    2. Pemberian makanan lunak .

    3. Pemberian cairan melalui infus.

      Pemberian cairan intra vena (biasanya ringer lactat, nacl) ringer lactate merupakan cairan intra vena yang paling sering digunakan , mengandung Na + 130 mEq/liter , K+ 4 mEq/liter, korekter basa 28 mEq/liter , Cl 109 mEq/liter dan Ca = 3 mEq/liter.

    4. Pemberian obat-obatan : antibiotic, antipiretik,

    5. Anti konvulsi jika terjadi kejang

    6. Monitor tanda-tanda vital ( T,S,N,RR).

    7. Monitor adanya tanda-tanda renjatan

    8. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut

    9. Periksa HB,HT, dan Trombosit setiap hari.

    Tumbuh kembang pada anak usia 6-12 tahun

    Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ fisik berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi tingkat sel. Pertambahan berat badan 2 – 4 Kg / tahun dan pada anak wanita sudah mulai mengembangkan cirri sex sekundernya.

    Perkembangan menitik beratkan pada aspek diferensiasi bentuk dan fungsi termasuk perubahan sosial dan emosi.

    1. Motorik kasar

      • Loncat tali

      • Badminton

      • Memukul

      • Motorik kasar di bawah kendali kognitif dan berdasarkan secara bertahap meningkatkan irama dan kehalusan.

    2. Motorik halus

      • Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan

      • Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan bermain alat musik.

    3. Kognitif

      • Dapat berfokus pada lebih dan satu aspek dan situasi

      • Dapat mempertimbangkan sejumlah alternatif dalam pemecahan masalah

      • Dapat membelikan cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali sejak awal

      • Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang

    4. Bahasa

      • Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak

      • Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata keterangan, kata penghubung dan kata depan

      • Menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal

      • Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan

    Dampak Hospitalisasi

    Hospitalisasi atau sakit dan dirawat di RS bagi anak dan keluarga akan menimbulkan stress dan tidak merasa aman. Jumlah dan efek stress tergantung pada persepsi anak dan keluarga terhadap kerusakan penyakit dan pengobatan.

    Penyebab anak stress meliputi ;

    1. Psikososial

      Berpisah dengan orang tua, anggota keluarga lain, teman dan perubahan peran

    2. Fisiologis

      Kurang tidur, perasaan nyeri, imobilisasi dan tidak mengontrol diri

    3. Lingkungan asing

      Kebiasaan sehari-hari berubah

    4. Pemberian obat kimia

      Reaksi anak saat dirawat di Rumah sakit usia sekolah (6-12 tahun)

    5. Merasa khawatir akan perpisahan dengan sekolah dan teman sebayanya

    6. Dapat mengekspresikan perasaan dan mampu bertoleransi terhadap rasa nyeri

    7. Selalu ingin tahu alasan tindakan

    8. Berusaha independen dan produktif

    Reaksi orang tua :

    1. Kecemasan dan ketakutan akibat dari seriusnya penyakit, prosedur, pengobatan dan dampaknya terhadap masa depan anak

    2. Frustasi karena kurang informasi terhadap prosedur dan pengobatan serta tidak familiernya peraturan Rumah sakit.

  2. PATHWAYS

    Pathways dapat dilihat disini

  3. ANALISA DATA
    NO TGL / JAM DATA PROBLEM ETIOLOGI
    1 Diisi pada saat tanggal pengkajian Berisi data subjektif dan data objektif yang didapat dari pengkajian keperawatan masalah yang sedang dialami pasien seperti gangguan pola nafas, gangguan keseimbangan suhu tubuh, gangguan pola aktiviatas,dll Etiologi berisi tentang penyakit yang diderita pasien

  4. DIAGNOSA KEPERAWATAN
    • Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan, muntah dan demam.
    • Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.
    • Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada nafsu makan.
    • Kurang pengetahuan keluarga tentang proses penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi
    • Resiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan trombositopenia.
    • Shock hipovolemik berhubungan dengan perdarahan

  5. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
    NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN PERENCANAAN
    1 Gangguan volume cairan tubuh kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan , muntah dan demam.

    Volume cairan tubuh kembali normal. Dengan Kriteria Hasil :

    • Turgor elastis
    • Mukosa bibir lembab
    • Muntah (-)
    • Demam (-)
    1. Kaji KU dan kondisi pasien
    2. Observasi tanda-tanda vital ( S,N,RR )
    3. Observasi tanda-tanda dehidrasi
    4. Observasi tetesan infus dan lokasi penusukan jarum infus
    5. Balance cairan (input dan out put cairan)
    6. Beri pasien dan anjurkan keluarga pasien untuk memberi minum banyak
    7. Anjurkan keluarga pasien untuk mengganti pakaian pasien yang basah oleh keringat.
    2 Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.

    Suhu tubuh kembali normal.

    Kriteria Hasil :

    • Suhu 36-37 C.
    • Kulit hangat.
    • Sianosis (-)
    • Ekstremitas hangat

    1. Observasi tanda-tanda vital terutama suhu tubuh
    2. Berikan kompres dingin (air biasa) pada daerah dahi dan ketiak
    3. Ganti pakaian yang telah basah oleh keringat
    4. Anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti terbuat dari katun.
    5. Anjurkan keluarga untuk memberikan minum banyak kurang lebih 1500 – 2000 cc per hari
    6. kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Therapi, obat penurun panas.
    3 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada nafsu makan.

    Gangguan pemenuhan nutrisi teratasi

    Kriteria Hasil :

    • Nafsu makan (+)
    • BB (+)
    • Mual(-)
    • Muntah (-)
    1. Kaji intake nutrisi klien dan perubahan yang terjadi
    2. Timbang berat badan klien tiap hari
    3. Berikan klien makan dalam keadaan hangat dan dengan porsi sedikit tapi sering
    4. Beri minum air hangat bila klien mengeluh mual
    5. Lakukan pemeriksaan fisik Abdomen (auskultasi, perkusi, dan palpasi).
    6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Therapi anti emetik.
    7. Kolaborasi dengan tim gizi dalam penentuan diet
    4 Kurang pengetahuan keluarga tentang proses penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi

    Pengetahuan keluarga tentang proses penyakit meningkat

    Kriteria hasil :

    • Orang tua tampak tenang
    • Orang tua tidak bertanya-tanya lagi
    • Orang tua berpartisipasi dalam proses perawatan.
    1. Kaji tingkat pendidikan klien.
    2. Kaji tingkat pengetahuan keluarga tentang proses penyakit DHF
    3. Jelaskan pada keluarga klien tentang proses penyakit DHF melalui Penkes.
    4. beri kesempatan pada keluarga untuk bertanya yang belum dimengerti atau diketahuinya.
    5. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada klien
    6. Kaji kesiapan untuk pemberian nutrisi enteral
    5 Resiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan trobositopenia.

    Perdarahan tidak terjadi

    Kriteria hasil :

    • Tanda-tanda infeksi (-)
    • Tidak ada lecet atau kemerahan pada kulit.
    • Jumlah trombosit normal
    1. Kaji adanya perdarahan
    2. Observasi tanda-tanda vital (S.N.RR)
    3. Antisipasi terjadinya perlukaan / perdarahan.
    4. Anjurkan keluarga klien untuk lebih banyak mengistirahatkan klien
    5. Monitor hasil darah, Trombosit
    6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi ,pemberian cairan intra vena.
    6 Shock hipovolemik berhubungan dengan perdarahan

    Shock hipovolemik dapat teratasi

    Kriteria hasil :

    • Kesadaran compos mentis
    • Mukosa bibir lembab
    • Turgor elastis
    1. Observasi tingkat kesadaran klien
    2. Observasi tanda-tanda vital (S, N, RR).
    3. Observasi out put dan input cairan (balance cairan)
    4. Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi
    5. kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi cairan..

Minggu, 12 Desember 2010

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN FRAKTUR CRURIS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN FRAKTUR CRURIS

I. PENGERTIAN

Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenao stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000)

II. JENIS FRAKTUR
a. Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.
b. Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang
c. Fraktur tertutup: fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit
d. Fraktur terbuka: fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
e. Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,sedang sisi lainnya membengkak.
f. Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang
g. Kominutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa frakmen
h. Depresi: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
i. Kompresi: Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
j. Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau tendo pada daerah perlekatannnya.

III. ETIOLOGI
a. Trauma
b. Gerakan pintir mendadak
c. Kontraksi otot ekstem
d. Keadaan patologis : osteoporosis, neoplasma

V. MANIFESTASI KLINIS
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
b. Pemeriksaan jumlah darah lengkap
c. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
d. Kreatinin : trauma otot meningkatkanbeban kreatinin untuk klirens ginjal
VII. PENATALAKSANAAN

a. Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.
b. Imobilisasi fraktur
Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
? Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan
? Pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri
? Status neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau
? Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalakan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah

VIII. KOMPLIKASI
a. Malunion : tulang patah telahsembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
b. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
c. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali

IX. PENGKAJIAN
1. Pengkajian primer
- Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk
- Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
- Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
2. Pengkajian sekunder
a.Aktivitas/istirahat
? kehilangan fungsi pada bagian yangterkena
? Keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
? Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
? Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
? Tachikardi
? Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
? Cailary refil melambat
? Pucat pada bagian yang terkena
? Masa hematoma pada sisi cedera
c. Neurosensori
? Kesemutan
? Deformitas, krepitasi, pemendekan
? kelemahan
d. Kenyamanan
? nyeri tiba-tiba saat cidera
? spasme/ kram otot
e. Keamanan
? laserasi kulit
? perdarahan
? perubahan warna
? pembengkakan lokal


X. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
a. Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jaringan sekitasr fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler
Tujuan : kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperaawatan
Kriteria hasil:
? Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
? Mempertahankan posisi fungsinal
? Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit
? Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi:
a. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
b. Tinggikan ekstrimutas yang sakit
c. Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada ekstrimitas yang sakit dan tak sakit
d. Beri penyangga pada ekstrimit yang sakit diatas dandibawah fraktur ketika bergerak
e. Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
f. Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam lngkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan’Awasi teanan daraaah, nadi dengan melakukan aktivitas
g. Ubah psisi secara periodik
h. Kolabirasi fisioterai/okuasi terapi
b.Nyeri b.d spasme tot , pergeseran fragmen tulang
Tujuan ; nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan
Kriteria hasil:
? Klien menyatajkan nyei berkurang
? Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat
? Tekanan darahnormal
? Tidak ada eningkatan nadi dan RR
Intervensi:
a. Kaji ulang lokasi, intensitas dan tpe nyeri
b. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring
c. Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan
d. Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi
e. Jelaskanprosedu sebelum memulai
f. Akukan danawasi latihan rentang gerak pasif/aktif
g. Drong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh : relasksasi, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan
h. Observasi tanda-tanda vital
i. Kolaborasi : pemberian analgetik

C. Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka , bedah perbaikan
Tujuan: kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah tindakan perawatan
Kriteria hasil:
? Penyembuhan luka sesuai waktu
? Tidak ada laserasi, integritas kulit baik

Intervensi:
a. Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau drainae
b. Monitor suhu tubuh
c. Lakukan perawatan kulit, dengan sering pada patah tulang yang menonjol
d. Lakukan alihposisi dengan sering, pertahankan kesejajaran tubuh
e. Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan
f. Masage kulit ssekitar akhir gips dengan alkohol
g. Gunakan tenaat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi
h. Kolaborasi emberian antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tucker,Susan Martin (1993). Standar Perawatan Pasien, Edisi V, Vol 3. Jakarta. EGC
2. Donges Marilynn, E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta. EGC
3. Smeltzer Suzanne, C (1997). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Vol 3. Jakarta. EGC
4. Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta. EGC


Fraktur / Patah Tulang

Fraktur / Patah Tulang

Anatomi dan Fisiologi

Tibia atau tulang kering merupakan kerangka yang utama dari tungkai bawah dan terletak medial dari fibula atau tulang betis, tibia adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung yaitu : Ujung atas yang merupakan permukaan dua dataran permukaan persendian femur dan sendi lutut. Ujung bawah yang membuat sendi dengan tiga tulang, yaitu femur fibula dan talus.

Fibula atau tulang betis adalah tulang sebelah lateral tungkai bawah, tulang ini adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung

Fungsi Tulang

1) Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.

2) Tempat melekatnya otot.

3) Melindungi organ penting.

4) Tempat pembuatan sel darah.

5) Tempat penyimpanan garam mineral.

Konsep Fraktur


a. Pengertian Fraktur

Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma. Patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).

Fraktur tibia dan fibula yang terjadi akibat pukulan langsung, jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi, dan gerakan memuntir yang keras. Fraktur kedua tulang ini sering terjadi dalam kaitan satu sama lain :

b. Klasifikasi fraktur :

Menurut Hardiyani (1998), fraktur dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, dan cruris dst).

2). Berdasarkan luas dan garis fraktur terdiri dari :

a). Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang).

b). Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang).

3). Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :

a) Fraktur kominit (garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan).

b) Fraktur segmental (garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan).

c) Fraktur Multipel ( garis patah lebih dari satu tapi pada tulang yang berlainan tempatnya, misalnya fraktur humerus, fraktur femur dan sebagainya).

4). Berdasarkan posisi fragmen :

a) Undisplaced (tidak bergeser)/garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser.

b) Displaced (bergeser) / terjadi pergeseran fragmen fraktur

5). Berdasarkan hubungan fraktur dengan dunia luar :

a) Tertutup

b) Terbuka (adanya perlukaan dikulit).

6). Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma

a) Garis patah melintang.

b) Oblik / miring.

c) Spiral / melingkari tulang.

d) Kompresi

e) Avulsi / trauma tarikan atau insersi otot pada insersinya. Missal pada patela.

7). Berdasarkan kedudukan tulangnya :

a) Tidak adanya dislokasi.

b) Adanya dislokasi

8). Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :

a) Tipe Ekstensi

Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi.

b). Tipe Fleksi

Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi. (Mansjoer, Arif, et al, 2000)

  1. Etiologi

1). Cedera dan benturan seperti pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, kontraksi otot ekstrim.

2). Letih karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu jauh.

3). Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada fraktur patologis.

Menurut Oswari E, (1993) ; Penyebab Fraktur adalah :

1). Kekerasan langsung

Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.

2). Kekerasan tidak langsung

Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.

3). Kekerasan akibat tarikan otot

Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.

Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

  1. Patofisiologis

Fraktur paling sering disebabkan oleh trauma. Hantaman yang keras akibat kecelakaan yang mengenai tulang akan mengakibatkan tulang menjadi patah dan fragmen tulang tidak beraturan atau terjadi discontinuitas di tulang tersebut.

Pada fraktur tibia dan fibula lebih sering terjadi dibanding fraktur batang tulang panjang lainnya karena periost yang melapisi tibia agak tipis, terutama pada daerah depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan karena berada langsung di bawah kulit maka sering ditemukan adanya fraktur terbuka.

  1. Manifestasi klinis:

1). Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

2). Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas. Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.

3). Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm

4). Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.

5). Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera.

f. Komplikasi fraktur

Komplikasi fraktur menurut Henderson 1995 )

1). Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring

2). Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.

3). Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.

4). Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan takanan yang berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu tempat.

5). Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

6). Fat embalism syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh darah. Faktor resiko terjadinya emboli lemak ada fraktur meningkat pada laki-laki usia 20-40 tahun, usia 70 sam pai 80 fraktur tahun.

7). Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering terjadi pada individu yang imobiil dalam waktu yang lama karena trauma atau ketidak mampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau trauma komplikasi paling fatal bila terjadi pada bedah ortopedil

8). Infeksi, Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.

9). Avascular necrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptika atau necrosis iskemia.

10). Refleks symphathethic dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem saraf simpatik abnormal syndroma ini belum banyak dimengerti. Mungkin karena nyeri, perubahan tropik dan vasomotor instability.

g. Pemeriksaan penunjang

Radiologi :

X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment. Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks.

Laboratorium :

Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P mengikat di dalam darah.

Penatalaksanaan Fraktur

1). Tujuan pengobatan fraktur:

a) Reposisi dengan maksud mengembalikan fragmen–fragmen ke posisi anatomi.

b) Imobilisasi atau fiksasi dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen–fragmen tulang tersebut setelah direposisi sampai terjadi union.

c) Penyambungan fraktur (union)

d) Mengembalikan fungsi (rehabilitasi)

2). Prinsip Dasar Penanganan Fraktur

a) Revive

Yaitu penilaian cepat untuk mencegah kematian, apabila pernafasan ada hambatan perlu dilakukan therapi ABC (Airway, Breathing, Circulation) agar pernafasan lancar.

b) Review

Yaitu berupa pemeriksaan fisik yang meliputi : look feel, novemert dan pemeriksaan fisik ini dilengkapi dengan foto rontgent untuk memastikan adanya fraktur.

c) Repair

Yaitu tindakan pembedahan berupa tindakan operatif dan konservatif. Tindakan operatif meliputi : Orif, Oref, menjahit luka dan menjahit pembuluh darah yang robek, sedangkan tindakan konservatif berupa pemasangan gips dan traksi.

d) Refer

Yaitu berupa pemindahan pasien ke tempat lain, yang dilakukan dengan hati-hati, sehingga tidak memperparah luka yang diderita.

e) Rehabilitation

Yaitu memperbaiki fungsi secara optimal untuk bisa produktif.

3). Penanganan Fraktur Tibia Dan Fibula :

a). Imobilisasi fragmen tulang.

b). Kontak frgmen tulang minimal.

c) Asupan darah yang memadai.

d). Nutrisi yang baik.

e). Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang.

f). Hormon-hormon pertumbuhan tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik.

g). Potensial listrik pada patahan tulang.

4). Proses penyembuhan tulang

a) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma

Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur.

b) Stadium Dua-Proliferasi Seluler

Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis.

c) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus

Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik (bersifat menghasilkan/membentuk tulang), bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago.

d). Stadium Empat-Konsolidasi

Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru.

e). Stadium Lima-Remodelling

Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus.

3. Jenis Open Reduction Internal Fixation ( ORIF )

Menurut Apley (1995) terdapat 5 metode fiksasi internal yang digunakan, antara lain:

  1. Sekrup kompresi antar fragmen
  2. Plat dan sekrup, paling sesuai untuk lengan bawah
  3. Paku intermedula, untuk tulang panjang yang lebih besar
  4. Paku pengikat sambungan dan sekrup, ideal untuk femur dan tibia
  5. Sekrup kompresi dinamis dan plat, ideal untuk ujung proksimal dan distal femur

Asuhan Keperawatan Fraktur / Patah Tulang

Asuhan Keperawatan Fraktur / Patah Tulang

Asuhan keperawatan adalah bantuan, bimbingan, penyuluhan, perlindungan yang diberikan oleh seorang perawat untuk memenuhi kebutuhan pasien atau klien dengan menggunakan metode proses keperawatan. (Nasrul Efendy, 1995)

  1. 1. Pengkajian pada Pasien Fraktur

Menurut Doengoes, ME (2000) pengkajian fraktur tibia dan fibula meliputi :

  1. Aktivitas/istirahat

Tanda : Keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau trjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri)

  1. Sirkulasi

Gejala : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri/ansietas), atau hipotensi (kehingan darah)

  1. Neurosensori

Gejala : Hilang gerak/sensasi,spasme otot

Kebas/kesemutan (parestesis)

Tanda : Demormitas local; angulasi abnormal,

pemendakan,ratotasi,krepitasi (bunyi berderit, spasme otot, terlihat kelemahan atau hilang fungsi).

  1. Nyeri/kenyamanan

Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cidera ( mungkin terlokalisasi pada ara jaringan/kerusakan tulang; dapat berkurang pada imobilisasi) tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.

  1. Penyuluhan/Pembelajaran

Gejala : Lingkungan cidera

Pertimbangan : DRG menunjukkan rerata lama dirawat : femur 7-8 hari, panggul/pelvis 6-7 hari, lain-lainya 4 hari bila memerlukan perawatan dirumah sakit

Rencana pemulangan :

Membutuhkan dengan transportasi, aktivitas perawatan diri, dan tugas/pemeliharaan rumah.

2. Diagnosa

Diagnosa keperawatan adalah diagnosa yang dibuat oleh perawat profesional, menggambarkan tanda-tanda dan gejala-gejala yang menunjukkan masalah kesehatan yang dirasakan pasien/klien dimana perawat berdasarkan pendidikan dan pengalamannya dapat membantu menolongnya.

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien Fraktur menurut Doenges (2000) antara lain :

  1. Nyeri berhubungan dengan spasme otot,edema dan cidera pada jaringan lunak.
  2. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan intregitas tulang
  3. Resiko tinggi terhadap disfungsi terhadap disfungsi neurovaskuler prifer berhubungan dengan penurunan atau intrupsi aliran darah, edema berlebihan, hipovolemia.
  4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah/emboli lemak.
  5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka/tulang neuromuskuler.
  6. Kerusakan integrasi jaringan kulit berhubungan dengan fraktur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksi pen, kawat, sekrup.
  7. Kurang pengetahuan terhadap kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang paparan informasi.

Dari diagnosa diatas dapat di prioritaskan sebagai berikut :

  1. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan fraktur/trauma.
  2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka/tulang neuromuskuler.
  3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan alat fiksasi invasive.

3. Perencanaan

Rencana asuhan keperawatan adalah pengkajian yang sistematis dan identifikasi masalah, penentuan tujuan dan pelaksanaan serta cara atau strategi. Rencana tindakan pada pasien fraktur tibia dan fibula menurut Doenges (2000) antara lain :

Diagnosa 1. Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan fraktur/trauma.

Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman nyeri terpenuhi.

Kriteria hasil : Pasien dapat mengekspresikan rasa nyeri yang minimal, ekspresi wajah pasien rilek.

Intervensi :

a : Pertahankan imobilisasi pada bagian yang patah dengan cara bed rest, gips, spalek, traksi

b : Meninggikan dan melapang bagian kaki yang fraktur

c : Evaluasi rasa nyeri, catat tempat nyeri, sifat, intensitas, dan tanda-tanda nyeri non verbal

d. : Kolaborasi dalam pemberian analgetik

Rasional :

a. Mengurangi rasa nyeri dan mencegah dis lokasi tulang dan perluasan luka pada jaringan.

b. Meningkatkan aliran darah, mengurangi edema dan mengurangi rasa nyeri.

c. Mempengaruhi penilaian intervensi, tingkat kegelisahan mungkin akibat dari presepsi/reaksi terhadap nyeri.

d. Diberikan obat analgetik untuk mengurangi rasa nyeri.

Diagnosa II Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka/tulang neuromuskuler.

Tujuan : ekstremitas yang rusak dapat digerakkan.

Kreteria hasil : Pasien mampu melakukan aktivitas secara mandiri

Intervensi :

a. : Kaji tingkat mobilitas yang bisa dilakukan pasien

b. : Anjurkan gerak aktif pada ekstremitas yang sehat

c. : Pertahankan penggunaan spalek dan elastis verban

Rasional :

a. : Mengetahui kemandirian pasien dalam mobilisasi

b. : Rentang gerak meningkatkan tonus atau kekuatan otot serta memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan

c. : Mempertahankan imobilisasi pada tulang yang patah.

Diagnosa III. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan alat fiksasi invasive.

Tujuan : Tidak terjadi adanya infeksi

Kreteria hasil : Tidak ditemu-kan tanda-tanda infeksi seperti : rubor, tumor, dolor, kolor.

Intervensi :

a. Kaji tanda vital dan tanda infeksi.

b. Ganti balutan luka secara septik aseptik setiap hari

c. Anjurkan pasien untuk menjaga kebersihan.

Rasional :

a. Mengetahui keadaan umum pasien dan dugaan adanya infeksi.

b. Meminimalkan infeksi sekunder dari alat yang digunakan.

c. Untuk mencegah kontaminasi adanya infeksi.

4. Pelaksanaan

Pelaksanaan keperawatan disesuaikan dengan perencanaan tindakan keperawatan oleh perawat dan tim kesehatan lain.

Fase operasional merupakan puncak implementasi dengan berorientasi pada tujuan, dapat dilakukan dengan intervensi independen serta interdependen.

Pelaksanaan keperawatan pada pasien fraktur complete tibia dan fibula adalah mewujudkan rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan.

5. Evaluasi

Evaluasi : fase akhir dari keperawatan adalah evaluasi terhadap keperawatan yang diberikan, sedangkan hal-hal yang dievaluasi adalah keakuratan, kelengkapan dan kualitas data teratasi atau tidaknya masalah klien, pencapaian tujuan serta ketetapan intervensi keperawatan

Evaluasi adalah penilaian terhadap respon pasien setelah dilakukan keperawatan yang disusun pada tahap perencanaan. Pada pasien fraktur tibia dan fibula (cruris) post op orif dengan tujuan dan kriteria hasil seperti yang ada di atas, maka evaluasi yang diharapkan :

1. Menyatakan perasaan nyeri, hilang atau terkontrol.

2. Pasien memperlihatkan kemandirian dalam aktifitas.

3. Pasien mengetahui kondisi, prognosis dan kebutuhan tindakan medis, memperlihatkan tanda vital yang normal.

4. Tidak mengalami infeksi lokal maupun sistemik.

5. Memperlihatkan suhu tubuh yang normal.

6. Dokumentasi

Pendokumentasian adalah kumpulan informasi perawatan dan kesehatan pasien yang dilakukan oleh perawat sebagai pertanggung jawaban dan pertangung gugatan terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan perawat pada pasien dalam melakukan asuhan keperawatan.

Kegunaannya yaitu :

a. Sebagai alat komunikasi antar anggota keperawatan dan antara anggota tim kesehatan lainnya.

b. Sebagai dokumen resmi dalam sistem pelayanan kesehatan.

c. Dapat digunakan alat bahan penelitian dalam bidang keperawatan.

d. Sebagai alat yang dapat digunakan dalam bidang pendidikan keperawatan.

e. Sebagai alat pertanggungjawaban dan pertanggunggugatan asuhan keperawatan yang diberikan terhadap pasien.

Laporan pendahuluan penyakit fraktur tabia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dalam taraf halusinasi menuju industrialisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat /mobilitas masyarakat yang meningkat otomatisasi terjadi peningkatan penggunaan alat-alat transportasi /kendaraan bermotor khususnya bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan. Sehingga menambah “kesemrawutan” arus lalu lintas. Arus lalu lintas yang tidak teratur dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan tersebut sering kali menyebabkan cidera tulang atau disebut fraktur.

Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.

Berdasarkan data dari rekam medik RS Fatmawati di ruang Orthopedi periode Januari 2005 s/d Juli 2005 berjumlah 323 yang mengalami gangguan muskuloskletel, termasuk yang mengalami fraktur Tibia Fibula berjumlah 31 orang (5,59%).

Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah dengan mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode mobilisasi fraktur adalah fiksasi Interna melalui operasi Orif (Smeltzer, 2001 : 2361). Penanganan tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi umumnya oleh akibat tiga fraktur utama yaitu penekanan lokal, traksi yang berlebihan dan infeksi (Rasjad, 1998 : 363).

Peran perawat pada kasus fraktur meliputi sebagai pemberi asuhan keperawatan langsung kepada klien yang mengalami fraktur, sebagai pendidik memberikan pendidikan kesehatan untuk mencegah komplikasi, serta sebagai peneliti yaitu dimana perawat berupaya meneliti asuhan keperawatan kepada klien fraktur melalui metode ilmiah.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana asuhan keperawatan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra diruang I Orthopedi Fatmawati.

B. TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan Umum

Untuk mendapatkan pengalaman nyata tentang asuhan keperawatan dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra post Op ORIF

2. Tujuan Khusus

Setelah melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3 Dextra post op ORIF, Penulis mampu :

a. Mengidentifikasi data yang menunjang masalah keperawatan pada fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra.

b. Menentukan diagnosa keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra.

c. Menyusun rencana keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra.

d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra.

e. Melaksanakan evaluasi keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra.

f. Mengidentifikasi faktor pendukung dan faktor penghambat serta penyelesaian masalah (solusi) dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra.

C. METODE PENULISAN

Metode yang digunakan penulis dalam laporan studi kasus ini adalah metode deskriptif melalui pendekatan proses keperawatan dengan cara teknik pengumpulan data seperti wawancara, pemeriksaan fisik, kolaborasi dengan tim kesehatan yang lain serta data dari catatan medik klien. Setelah itu data diolah dan dianalisa untuk selanjutnya dirumuskan masalah sehingga bisa di intervensi dan di evaluasi.

D. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memudahkan pengertian dan pemahaman terhadap isi dan maksud dari laporan kasus ini, maka penulisannya dibuat secara sistematis dibagi menjadi 5 bab, yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

Meliputi Latar Belakang, Tujuan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN TEORITIS

Meliputi Konsep Dasar Penyakit dan Konsep Dasar Asuhan Keperawatan.

BAB III : TINJAUAN KASUS

Meliputi Gambaran Kasus dan Diagnosa, Intervensi, Implementasi dan Evaluasi Keperawatan.

BAB IV : PEMBAHASAN

Yang membahas tentang kesenjangan antara Kasus, yang ditemukan dengan teori yang didapatkan meliputi Definisi, Rasional terhadap setiap Diagnosa Keperawatan yang ditemukan, Faktor Pendukung, Faktor Penghambat serta Solusi.

BAB V : PENUTUP

Yang meliputi Kesimpulan dan Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


BAB II

TINJAUAN TEORI

1. Pengertian

Fraktur adalah terputusnya hubungan atau kontinuitas tulang karena stress pada tulang yang berlebihan (Luckmann and Sorensens, 1993 : 1915)

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. (Price and Wilson, 1995 : 1183)

Fraktur menurut Rasjad (1998 : 338) adalah hilangnya konstinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial.

Fraktur Tibia Fibula adalah terputusnya tulang tibia dan fibula.

2. Etiologi

Penyebab fraktur diantaranya :

a. Trauma

1) Trauma langsung : Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut.

2) Trauma tidak langsung : Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.

b. Fraktur Patologis

Fraktur disebabkan karena proses penyakit seperti osteoporosis, kanker tulang dan lain-lain.

c. Degenerasi

Terjadi kemunduran patologis dari jaringan itu sendiri : usia lanjut

d. Spontan

Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.

(Corwin, 2001 : 298)

3. Manifestasi Klinis

a. Nyeri lokal

b. Pembengkakan

c. Eritema

d. Peningkatan suhu

e. Pergerakan abnormal

Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)

4. Patofisiologi


(Lukman and Soronsens 1993 and price, 1995)

5. Klasifikasi / Jenis

a) Fraktur komplet : Fraktur / patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran dari posisi normal.

b) Fraktur tidak komplet : Fraktur / patah yang hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.

c) Fraktur tertutup : Fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit, jadi fragmen frakturnya tidak menembus jaringan kulit.

d) Fraktur terbuka : Fraktur yang disertai kerusakan kulit pada tempat fraktur (Fragmen frakturnya menembus kulit), dimana bakteri dari luar bisa menimbulkan infeksi pada tempat fraktur (terkontaminasi oleh benda asing)

1) Grade I : Luka bersih, panjang <>

2) Grade II : Luka lebih besar / luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif

3) Grade III : Sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak yang ekstensif, merupakan yang paling berat.

e) Jenis khusus fraktur

1) Greenstick : Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah, sedang sisi lainnya membengkok.

2) Tranversal : Fraktur sepanjang garis tengah tulang.

3) Oblik : Fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.

4) Spiral : Fraktur memuntir seputar batang tulang

5) Kominutif : Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen

6) Depresi : Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah)

7) Kompresi : Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)

8) Patologik : Fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, penyakit pegel, tumor)

9) Avulsi : Tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendon pada perlekatannya

10) Epifiseal : Fraktur melalui epifisis

11) Impaksi : Fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.

(Smeltzer and Bare, 2002 : 2357 – 2358)

6. Proses Penyembuhan Tulang

a. Stadium Pembentukan Hematoma

Hematoma terbentuk dari darah yang mengalir dari pembuluh darah yang rusak, hematoma dibungkus jaringan lunak sekitar (periostcum dan otot) terjadi 1 – 2 x 24 jam.

b. Stadium Proliferasi

Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periostcum, disekitar lokasi fraktur sel-sel ini menjadi precursor osteoblast dan aktif tumbuh kearah fragmen tulang. Proliferasi juga terjadi dijaringan sumsum tulang, terjadi setelah hari kedua kecelakaan terjadi.

c. Stadium Pembentukan Kallus

Osteoblast membentuk tulang lunak / kallus memberikan regiditas pada fraktur, massa kalus terlihat pada x-ray yang menunjukkan fraktur telah menyatu. Terjadi setelah 6 – 10 hari setelah kecelakaan terjadi.

d. Stadium Konsolidasi

Kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi, fraktur teraba telah menyatu, secara bertahap-tahap menjadi tulang matur. Terjadi pada minggu ke 3 – 10 setelah kecelakaan.

e. Stadium Remodelling

Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada kondisi lokasi eks fraktur. Tulang yang berlebihan dibuang oleh osteoklas. Terjadi pada 6 -8 bulan.

(Rasjad, 1998 : 399 – 401)

7. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma

b. Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.

d. Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).

e. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.

(Doenges, 2000 : 762)

8. Penatalaksanaan

Ada empat konsep dasar dalam menangani fraktur, yaitu :

a. Rekognisi

Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri.

b. Reduksi

Reduksi adalah usaha / tindakan manipulasi fragmen-fragmen seperti letak asalnya. Tindakan ini dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau ruang bidai gips. Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat diberi narkotika IV, sedative atau blok saraf lokal.

c. Retensi

Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi gips, bidai, traksi dan teknik fiksator eksterna.

d. Rehabilitasi

Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur semula dengan cara melakukan ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien. Latihan isometric dan setting otot. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah.

9. Komplikasi

Komplikasi fraktur dapat dibagi menjadi :

a. Komplikasi Dini

1) Nekrosis kulit

2) Osteomielitis

3) Kompartement sindrom

4) Emboli lemak

5) Tetanus

b. Komplikasi Lanjut

1) Kelakuan sendi

2) Penyembuhan fraktur yang abnormal : delayed union, mal union dan non union.

3) Osteomielitis kronis

4) Osteoporosis pasca trauma

5) Ruptur tendon

(Sjamsu Hidayat, 1997 : 1155)

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Anamnesa

1) Data Biografi

2) Riwayat kesehatan masa lalu

3) Riwayat kesehatan keluarga

b. Pemeriksaan Fisik

1) Aktivitas / istirahat

Keterbatasan / kehilangan fungsi yang efektif (perkembangan sekunder dari jaringan yang bengkak / nyeri)

2) Sirkulasi

a) Hipertensi (kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri / ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)

b) Takikardia (respon stress , hipovolemi)

c) Penurunan nadi pada distal yang cidera , pengisian kapiler lambat

d) Pembengkakan jaringan atau hematoma pada sisi yang cidera

3) Neurosensori

a) Hilang gerakan / sensasi, spasme otot

b) Kebas / kesemutan (parestesia)

c) Nyeri / kenyamanan

d) Nyeri mungkin sangat berat, edema, hematoma dan spasme otot merupakan penyebab nyeri di rasakan

4) Keamanan

a) Laserasi kulit, avulsi jaringan, pendarahan, perubahan warna

b) Pembengkakan lokal

5) Pengetahuan

Kurangnya pemajanan informasi tentang penyakit, prognosis dan pengobatan serta perawatannya .

2. Diagnosa Keperawatan

a. Risiko terhadap trauma berhubungan dengan kerusakan Integritas tulang (fraktur)

b. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot

c. Risiko terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah cedera, edema berlebihan, pembentukan trombus

d. Risiko tinggi terhadap pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran : darah / emboli lemak, perubahan membran alveolar / kapiler

e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler , nyeri / ketidaknyamanan.

f. Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka

3. Prinsip intervensi

a. Mencegah cedera tulang jaringan lanjut

b. Menghilangkan nyeri

c. Mencegah komplikasi

d. Memberikan informasi tentang kondisi /prognosa dasn dasn kebutuhan pengobatan

e. Meredakan ansietas

f. Memperbaiki mobilitas

)

4. Evaluasi

Hasil yang diharapkan :

- Tidak terjadi trauma

- Gangguan rasa nyaman nyeri hilang / berkurang.

- Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler

- Dapat bernafas normal

- Beraktifitas secara normal / mandiri

- Tidak terjadi dekubitus