WELCOME TO BLOGGER DEANDRI

Halaman

Rabu, 25 Agustus 2010

mayat koruptor tidak perlu di shalatkan

Kontroversi soal mayat koruptor disalatkan atau tidak, terus bergulir. Apalagi setelah Ketua Umum Muhammadiyah, Prof Dr Din Syamsuddin menegaskan dirinya mengetahui bahwa Nahdlatul Ulama (NU) telah memutuskan, koruptor tidak disalatkan.
Namun, Pengurus Besar NU, membantah soal itu. “Nahdlatul Ulama tidak pernah memberi pesan hukum sebagaimana yang disampaikan dan yang dibayangkan Pak Din Syamsuddin.” kata Ketua Komunikasi Informasi dan Publikasi PBNU, HM Sulthan Fatoni, di Jakarta, Sabtu (21/8/2010).

Menurut alumnus Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur ini, para kiai tidak mungkin memutuskan hukum di luar nalar syariah Islam.
Pada prinsipnya, hukum mensalatkan jenazah muslim adalah fardhu kifayah. Di sinilah para kiai bermusyawarah, bahwa hukum fardhu kifayah berarti masih memungkinkan sekelompok muslim tertentu untuk tidak melakukan salat jenazah.
Kelompok tertentu ini, dalam rumusan NU waktu itu, adalah para kiai, ulama yang tidak perlu ikut terlibat mensalati jenazah muslim yang koruptor.
“Pembahasan para kiai itu pada konteks bahwa penghormatan terhadap seorang koruptor itu tidak perlu, dan jika koruptor meninggal dunia maka hukum mensalatinya tetap fardhu kifayah. Namun, ulama tidak perlu ikut serta mensalatinya karena kehadiran ulama dalam salat jenazah muslim yang korup dikategorikan sebagai penghormatan.”

Dalam tradisi para kiai, beberapa saat setelah salat jenazah, seorang imam salat yang biasanya kiai, mengajak persaksian kepada para jamaah bahwa jenazah bersangkutan seorang yang saleh, baik.
Jamaah biasanya menjawab, "benar, dia orang baik."
"Jika memang dia divonis koruptor, lalu imam salat, kiai mengajak bersaksi bahwa dia itu baik, apa mungkin? Dalam konteks inilah keputusan itu diambil bahwa untuk para ulama tidak perlu mensalati koruptor. Selain ulama silakan saja, termasuk warga nahdliyin.”

Sulthan menambahkan, begitu juga dengan kontroversi soal “koruptor itu kafir” yang diasosiasikan sebagai cermin pemikiran NU perlu diluruskan mengingat NU tidak pernah membahasnya, baik secara eksplisit maupun implisit.
“Muktamar NU ke-5 tahun 1930 telah menjelaskan jenis-jenis 'kafir' sebagai terma yang hanya dalam lingkup teologi Islam, karena itu NU tidak pernah menggolongkan koruptor, pencuri, dan sejenisnya sebagai kafir.”

0 komentar:

Posting Komentar