WELCOME TO BLOGGER DEANDRI

Halaman

Selasa, 09 November 2010

Kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak

PENDAHULUAN

Kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak (KDRTA) bukanlah kasus yang tidak ada terjadi. Malah, berdasarkan monitoring PKPA di Sumatera Utara sejak 1999-sekarang, keluarga atau orang yang terdekat dengan anak justru merupakan pelaku kekerasan paling dominan terhadap anak. Bahkan kasus kekerasan yang dilakukan keluarga dalam banyak kasus termasuk kategori berat dan berakibat fatal bagi anak, seperti pembunuhan, penyiksaan hingga menyebabkan cacat seumur hidup atau bahkan meninggal. Demikian juga kasus incest atau hubungan seksual sedarah yang dilakukan berulang kali atau hingga berpuluh tahun terjadi. Sementara kasus-kasus kekerasan seperti memukul, menendang, mencambak, mencubit dan lain sebagainya mungkin setiap hari terjadi dan sudah dianggap sebagai hal biasa.

Masyarakat masih banyak menganggap KDRTA urusan "dapur" satu keluarga. Orang tua juga, tak sedikit, beranggapan bahwa anaknya adalah hak milik dan tanggung jawabnya hingga ia berhak melakukan apa saja, termasuk membantingnya karena kesal menyebabkan anak meninggal atau atas nama mendidik, membina dan melaksanakan tugasnya sebagai orang tua, anak sah-sah saja dihukum, dipukul, dimarahi, dicubit, dijewer hingga disiksa. Anak sejak kecil sudah diajarkan agar patuh dan taat kepada orang tua dengan cara kekerasan. Orang tua dalam menerapkan disiplin kepada anak sering tidak memperhatikan keberadaan anak sebagai seorang manusia. Anak sering dibelenggu aturan-aturan orang tua yang tidak rasional dan tanpa menghargai keberadaan anak dengan segala hak-haknya, seperti hak anak untuk bermain. Ini adalah kenyataan. Hirarki sosial yang diajarkan adalah hirarki otoriter, sewenang-wenang. Tak hanya di desa, tetapi juga di kota hal ini masih banyak terjadi. Tidak pula hanya oleh orang tua yang katanya tak sekolahan, orang tua yang terpandang di masyarakat ternyata juga ada sebagai aligator (pemangsa buas) atau penindas anak di rumah.

Kekerasan domestik (kekerasan dalam rumah tangga) oleh sebagian masyarakat kita tidak dianggap sebagai kejahatan. Inilah faktanya. KDRTA hanya dilaporkan atau dianggap sebagai masalah jika berakibat cedera parah atau meninggal. Hanya kasus dramatis dan berdarah-darah baru dinilai kejahatan. Luka memar kena bogem ayah atau anak berkepribadian pemalu karena di rumah selalu menghadapi tekanan orang tua tidak dianggap kejahatan. Lainnya, banyak masih menilai KDRTA sebagai persoalan individu per individu atau melokalisir tempat kejadian. Hanya kejadian di lingkungan anu, karena bapaknya tidak kerja, ibunya stress karena ditinggal suami, karena bapaknya ini itu dan beragam alasan pembenaran yang sesungguhnya secara hukum tidak bisa dibenarkan. Dalam kondisi dan situasi bagaimanapun anak tetap harus dilindungi, anak harus tetap disayangi, anak harus tetap dibina dalam nilai-nilai yang bijaksana. Kepentingan yang terbaik bagi anak, haruslah menjadi pertimbangan dan perhatian kita dalam setiap tindakan kepada anak.Masalahnya lagi, kita sering tidak mempercayai anak. Laporan anak tidak ditanggapi. Keluhan anak diabaikan, anak sebelum berbicara malah sudah disuruh diam dengan bentakan atau pukulan.

KESEHATAN JIWA DITINJAU DARI SEGI KEKERASAN PADA ANAK

Batasan istilah

Batasan KPA agak sulit untuk bisa didefinisikan dengan jelas. Ada yang menuliskan

bahwa kekerasaan pada anak meliputi makian, jeweran dan pukulan terhadap anak.

Sedangkan pada artikel yang lain disebutkan bahwa larangan orang tua terhadap

suatu aktivitas yang disukai anak sudah termasuk KPA. Karena batasan-batasan

tentang KPA tidak jelas, saya akan mencoba untuk mendefinisikan KPA sebagai

bentuk pembatasan hak-hak anak yang berdampak negatif terhadap perkembangan

anak. Mengapa saya memberikan batasan tersebut, akan saya uraikan dalam artikel

ini.

Bentuk, pelaku dan dampak KPA

Bentuk KPA yang terjadi banyak macamnya. Ditinjau dari akibat yang terjadi dari

segi medis bisa digolongkan dalam dua grup: kekerasan fisik dan kekerasan seksual.

Kekerasan paling sering dilakukan oleh anggota keluarga terdekat atau anggota

rumah, misal orang tua, saudara, atau paman. Peringkat kedua diduduki oleh pelaku

kekerasan di lingkungan anak, misal di sekolah, baik oleh guru atau teman sekolah,

teman bermain, tetangga atau kenalan. Pemerintah juga bisa dijadikan sebagai

pelaku kekerasan secara tidak langsung, dengan cara pemberlakuan undangundang

yang membatasi hak anak, ataupun tidak adanya penyediaan sarana buat

anak terutama anak yang cacat (fisik ataupun mental).

Dampak kekerasan yang menimpa anak ditinjau dari segi kesehatan misalnya luka

yang ringan, luka yang mengakibatkan kecacatan baik cacat fisik maupun cacat

secara seksual (misalnya kehilangan kegadisan), bunuh diri akibat depresi, ataupun

kematian baik yang disengaja maupun tidak.

Alasan-alasan yang mendasari timbulnya KPA

Alasan yang paling sering dikemukakan oleh pelaku (terutama orang tua) terhadap

tindakannya (kekerasan) terhadap anak adalah dalam rangka mendidik anak.

Misalnya anak melakukan perbuatan yang dipandang negatif oleh orang tua. Agar

anak tidak mengulangi perbuatan, kadang orang tua memaki atau menjewer, dalam

beberapa kasus sampai memukul anak. Pada kasus-kasus tersebut jarang terjadi

kekerasan fisik pada anak yang mengakibatkan dampak negatif pada anak dalam

jangka panjang.

Alasan kedua yang sering terjadi adalah pelaku ingin agar anak melakukan apa yang

diinginkan oleh pelaku. Yang membedakan alasan kedua dari alasan pertama adalah

motivasi pelaku dalam alasan kedua bukan karena pendidikan. Misalnya saja pelaku

merasa terganggu karena anak rewel terus. Agar anak menjadi diam, pelaku

menjewer anak. Alasan kedua sering menimbulkan dampak terhadap yang lebih

parah baik dari segi fisik maupun psikologi terhadap anak daripada alasan pertama.

Kekerasan fisik yang dilakukan oleh teman sekolah bisa dimasukkan dalam

golongan ini, sementara kekerasan yang dilakukan oleh guru bisa dimasukkan dalam

golongan pertama ataupun kedua.

Alasan yang ketiga adalah perbuatan kriminal, misalnya pembunuhan (secara

disengaja) ataupun kekerasan seksual. Alasan ketiga biasanya menimbulkan akibat

yang paling parah, misal kematian.

Pola KPA di Indonesia dan di Jerman

Pada prinsipnya pola kekerasan pada anak di Indonesia dan di Jerman hampir

sama. Kekerasan fisik pada anak sering terjadi pada masyarakat tingkat ekonomi

bawah. Penyebab kekerasan fisik lebih sering berkaitan dengan masalah stress

ekonomi atau lingkungan yang kurang kondusif, yang biasanya lebih dimiliki oleh

masyarakat tingkat ekonomi bawah. Penyebab lain adalah akibat indirek dari

kekerasan suami kepada istri (kekerasan dalam rumah tangga, yang sering disingkat

sebagai KDRT). KDRT mempunyai akibat langsung kepada istri, dan tidak langsung

kepada anak, misalnya

1) suami memukuli istri, suatu saat pukulannya malah mengenai anak akibatnya anak mati,

2) akibat KDRT istri jadi tertekan, dan sebagai pelampiasannya istri memukuli anak, akibatnya anak jadi sakit atau mati,

3) akibat KDRT istri jadi tertekan, si anak (bayi) jadi tak terurus, akibatnya anak/bayi sakit atau

mati. Perbedaannya, kekerasan fisik di Indonesia kadang menyebabkan kematian

pada anak, sedangkan di Jerman jarang menimbulkan kematian.

Suatu pola khusus yang banyak terjadi di Jerman adalah kekerasan seksual pada

anak yang berakibat kematian dan kekerasan fisik oleh teman sekelas. Menurut

pendapat saya, hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh televisi atau permainan

komputer. Di Jerman, pengaruh televisi atau permainan komputer saat ini jauh lebih

besar daripada di Indonesia. Saya memperkirakan jika di Indonesia pengaruh televisi

atau permainan komputer semakin parah, pola kekerasan yang sama bisa terjadi

juga di Indonesia.

Rasionalisasi pendidikan anak oleh orang tua

Untuk menjadi orang tua yang baik memang tidak gampang. Jika

terlalu keras dalam mendidik anak, perkembangan anak menjadi

negatif. Namun jika anak hanya diberikan kasih sayang, segala

keinginan anak dipenuhi, juga bukan solusi yang baik.

Ketika anak sudah mulai mengerti hal-hal konsepsual (biasanya

ketika anak menginjak umur 3 tahun), pada diri anak mulai muncul

paham ego. Anak mulai mengembangkan perasaan memiliki,

semua barang yang disekitar anak merasa dimilikinya. Ketika anak

melihat suatu barang, anak ingin memiliki dan berusaha untuk

memiliki. Pada fase perkembangan berikutnya, baru anak

mengembangkan perasaan superego, dimana anak mulai mengenali norma-norma

kehidupan (apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan). Jika fase ini gagal, maka

anak tidak pernah mengenal rasa bersalah atau rasa takut jika anak melakukan

suatu kesalahan. Disini anak mempunyai potensial untuk berkembang menjadi anak

nakal yang selalu melanggar norma agama, masyarakat atau peraturan negara.

Untuk itu orang tua harus membantu dalam proses perkembangan anak. Orang tua

harus memperkenalkan anak tentang norma-norma dan peraturan, dengan cara

mendidik anak. Hanya dengan cara demikian, anak bisa tumbuh menjadi orang yang

baik. Dalam mendidik anak, orang tua harus memberikan pengertian dan nasihat

kepada anak. Seringkali pengertian dan nasihat orang tua tidak cukup. Jika anak

tetap melakukan kesalahan yang sama yang berulang-ulang, tidak ada pilihan bagi

orang tua untuk memberikan hukuman. Bukankah orang dewasa juga dihukum jika

melanggar peraturan? Anak seharusnya diperkenalkan bahwa dia melakukan

kesalahan maka anak bisa dihukum.

Cara menghindari KPA:

1. Pemberian hukuman fisik yang tidak membahayakan anak

Jika anda sebagai orang tua merasa bahwa anak sering melakukan kesalahan yang

sama, dan segala macam nasihat maupun hukuman secara psikis tidak mempan,

dan anak perlu diberikan hukuman fisik, ada beberapa hal yang perlu anda

perhatikan:

a. Umur anak.

Bayi tidak boleh sedikitpun diberikan kekerasan fisik, apapun alasannya. Segala

macam kekerasan fisik pada bayi hanya akan menimbulkan akibat buruk kepada

bayi, dan sudah termasuk kejahatan.

Seperti yang disebutkan di paragraf atas, hukuman fisik hanya dapat diberikan jika

alternatif pendidikan yang lain sudah tidak mempan. Sampai umur 4-5 tahun

sebaiknya anak tidak diberikan hukuman fisik. Pelaku hukuman pun sebaiknya

dibatasi kepada pendidik langsung anak (misalnya hanya orang tua saja).

Frekuensinya pun tidak boleh berlebihan. Biasanya dengan 1 atau maksimal 2 kali

jeweran anak sudah cukup jera.

Hukuman fisik pun hanya boleh dilakukan jika anak belum beranjak dewasa/puber.

Pada taraf tersebut hukuman fisik tidak mempan lagi. Nasihat atau komunikasi

biasanya lebih bermakna.

b. Hukuman fisik apa tidak boleh diberikan?

Anggota badan yang sama sekali tidak boleh menerima kekerasan fisik adalah

kepala (yang berakibat pada gangguan otak, organ terpenting pada manusia). Selain

itu sebaiknya dihindari kekerasan pada dada karena didalam dada terdapat 2 organ

penting: jantung dan paru-paru. Terutama paru-paru amat rentan terhadap benturan

yang bisa mengakibatkan gangguan pernafasan. Yang juga dihindari adalah

kekerasan pada bagian perut, karena didalamnya terdapat organ pencernaan, hati,

limpa, pankreas, ginjal dan saluran kencing, serta organ peranakan pada wanita

(ovarium dan uterus). Yang perlu diingat adalah, tidak seperti dada, perut tidak

memiliki tulang yang bisa melindungi organ-organ didalamnya, sehingga perut cukup

rentan juga terhadap benturan.

Organ lain yang juga cukup penting adalah tangan dan kaki. Hukuman fisik dalam

taraf sedang pun bisa mengakibatkan kecacatan pada anak walau biasanya tidak

membahayakan jiwa.

Seringkali kita mendengar atau membaca di media tentang hukuman fisik yang

dilakukan dengan suatu alat, misalnya dengan tongkat atau sabuk. Pemberian

hukuman tidak boleh dilakukan dengan menggunakan alat bantu, karena kwalitas

benturan dengan alat bantu lebih parah daripada dengan tangan kosong.

c. Hukuman yang boleh: jeweran pada pantat, paha, lengan atau telinga.

Jeweran pada pantat, paha, lengan atau telinga sudah cukup menimbulkan rasa

sakit, namun tidak menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan kesehatan

anak. Dengan hukuman tersebut, biasanya anak sudah cukup jera. Frekuensi yang

diberikan pun hanya boleh 1-2 kali saja, tidak boleh sering, dan jangan memberikan

jeweran yang terlalu dalam karena bisa mengenai syaraf yang bisa berakibat fatal.

Jika anda memperhatikan bahwa anak tidak jera setelah diberikan jeweran, dan

anda sudah terlalu sering memberikan hukuman, berarti makna hukuman fisik sudah

tidak mempan, maka anda seharusnya pergi ke psikolog atau ke pemuka agama

untuk mendapatkan saran-saran dalam mendidik anak. Misalnya anak sudah

kecanduan obat-obatan, melakukan tindakan kriminal kecil-kecilan, dimana hukuman

fisik ringan tidak bisa lagi menyelesaikan masalah, maka hukuman fisik berat juga

tidak akan membantu menyelesaikan masalah.

2. Menghindari kekerasan seksual pada anak

Kekerasan seksual pada anak seringkali dilakukan tidak hanya

oleh pelaku asing, namun juga bisa oleh kerabat dekat, misalnya

paman, kakek atau bahkan guru sekolah. Kekerasan seksual

sering menimpa anak perempuan walau tidak jarang anak laki-laki

pun bisa terkena. Kadang kita tidak menyadarinya karena anak

tidak pernah bercerita. Sementara anak tidak mengerti bahwa

perbuatan meraba-raba alat kelamin yang dilakukan si pelaku

adalah terlarang karena biasanya pelaku akan membujuk si anak.

Lalu apa tindakan kita untuk mencegah hal tersebut? Pertama-tama kita harus

memberikan pendidikan seksual yang benar kepada anak secara dini. Si anak mulai

diajarkan untuk mengenali alat kelaminnya. Jika anak sudah mulai mengenal, maka

anak bisa mengerti apakah seseorang berlaku kurang sopan terhadapnya atau tidak.

Kedua: jika kita terpaksa menitipkan anak kita kepada seseorang, lebih baik titipkan

anak kepada kenalan perempuan, misalnya ibu teman anak anda. Biasanya

perempuan jarang melakukan kekerasan seksual. Ketiga: Rangsang anak anda

untuk bercerita tentang aktivitas sehari-hari, baik di sekitar rumah dengan temantemannya

maupun di sekolah. Jika memang pelaku melakukan perbuatannya,

kadang si anak terceplos ketika dia bercerita kepada ibunya. Keempat: pada saat

anda memandikan anak anda, berikan juga perhatian kepada daerah sekitar alat

kelamin. Jika ada lebam atau memar atau anak meringis kesakitan jika anda

menyentuh daerah tersebut, anda harus periksa lebih teliti dan jika perlu bawa ke

dokter.

3. Menghindari kekerasan dari lingkungan.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kekerasan tidak selalu muncul dari keluarga,

namun juga dari lingkungan, misalnya lingkungan bermain anak atau sekolah.

Pelakunya bisa dari tetangga, teman atau guru. Biasanya anak tidak berani bercerita

kepada orang tua karena takut ancaman dari pelaku.

Satu hal yang bisa membantu dalam menghindarinya adalah rangsang anak untuk

bercerita tentang pengalamannya (atau apa saja yang dia lakukan) pada hari itu

bersama temannya atau disekolahnya. Dengarkan apa yang diceritakan tanpa

memberikan suatu komentar, sehingga anak mempunyai keberanian untuk bercerita

tanpa rasa takut. Jika anak bercerita bahwa dia baru saja dipukul oleh teman atau

gurunya, jangan telan mentah-mentah dan hal tersebut harus ditangani dengan

kepala dingin. Cek dengan seksama cerita anak tersebut (bisa saja lho anak anda

yang berbohong). Jika hal tersebut dilakukan oleh teman anda, anda bisa

memperhatikan ketika anak bergaul dengan temannya. Jika itu dilakukan oleh guru,

mungkin anda bisa mengecek dengan cara bertanya kepada teman anak anda yang

mungkin melihat peristiwa tersebut. Jika hal tersebut benar adanya, baru anda boleh

bertindak.

Hukum kurang berpihak
Tidak hanya sistem atau budaya dalam masyarakat yang banyak merugikan anak, hukum yang semestinya melindungi justru merugikan dan itu karena status mereka anak-anak atau perempuan. Sebagai anak, mereka belum diakui kapasitas legalnya (legal capacity). Dalam kasus KDRTA dimana pelakunya adalah extended family (keluarga terdekat), terutama ayah-ibu, selain alat bukti yang dimungkinkan tidak cukup, juga untuk kasus tertentu seperti perkosaan (pasal 287 KUHP), jika anak berumur dibawah 15 tahun maka kasusnya merupakan delik aduan, yang berarti suatu kasus sangat mungkin tidak terungkap dan kalaupun diadukan sewaktu-waktu dapat dicabut oleh si pengadu, akibat dipengaruhi atau anak mengalami tekanan psikologis dari keluarganya.

Demi menjaga aib keluarga, karena takut kepada orang tua atau karena tidak tahu harus melapor kemana, kasus itu bisa dipendam oleh si anak. Juga bila telah dilaporkan, anak dapat dipaksa mencabut pengaduannya. Lalu, jika kasusnya incest dan terjadi pada anak berusia belum cukup 12 tahun, siapa saksi atau pelapor? Atau bahkan pada usia di atasnya, apakah ia berani melapor ? Apalagi yang dilaporkan ayahnya. Tentu tidak. Hanya jika si anak sudah menderita depresi berat baru orang lain mungkin mengetahui, ketika secara pisik dan psikis anak mengalami perubahan Bahkan dalam banyak kasus perkosaan ayah kepada anaknya kesaksian orang dewasa (termasuk ibu si anak atau keluarga lain) sering hanya bersifat mendengarkan dari orang lain (de auditu) sehingga secara material tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti, apalagi saksi hanya satu orang. Benar, visum et repertum bisa dijadikan sebagai alat bukti lain, akan tetapi bukankah kerusakan selaput dara tidak harus akibat ada penetrasi ke vagina perempuan dan bagaimana pula jika perbuatan itu tidak sampai mengakibatkan robeknya selaput dara korban atau telah berlangsung lama dan alat bukti lain (petunjuk) sudah tidak ada? Bukankah juga di Indonesia belum memiliki UU perlindungan saksi, hingga untuk kasus KDRT jarang sekali ada orang yang mau bersaksi di kepolisian atau pengadilan untuk membela anak, karena orang merasa direpotkan atau malah terancam jiwa dan keluarganya jika menjadi saksi suatu kasus, bahkan dari saksi menjadi tersangka. Secara yuridis formal (hukum) kesaksian anak-anak sebagai korban atau saksi korban tidak cukup kuat untuk dijadikan alat bukti.

Dalam KUHAP dinyatakan, syarat sahnya suatu kesaksian apabila saksi tersebut disumpah. Sementara dalam KUHAP juga dinyatakan, anak-anak tidak dibenarkan untuk disumpah dan dalam pasal 185 KUHAP ditegaskan: keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti. Itu berarti bahwa kalaupun keterangan si anak sebagai korban atau saksi korban sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah sifatnya namun hanya sebagai tambahan alat bukti yang sah.

Dalam pasal 287 KUHP mengenai pengaduan juga tidak dijelaskan siapa yang berhak mengajukannya. Hanya dijelaskan: dianggap bahwa yang berhak itu adalah perempuan yang menderita itu. Sementara pasal 72 KUHP menyatakan jika orang tersebut umurnya belum cukup 16 tahun dan belum dewasa yang berhak mengadu ialah wakilnya yang sah dalam perkara sipil. Delik aduan inipun diposisikan sebagai delik aduan relatif, padahal pasal yang digunakan adalah pasal delik aduan absolut, yang berarti menuntut peristiwanya, bukan pelaku utamanya saja, sebab KDRTA seringkali terjadi sebagai kasus berulang-ulang bahkan sistemik. Bukankah pasal 20 UU Perlindungan Anak menyatakan: negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berwajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak?

Dalam pasal 26 juga dinyatakan: orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, melindungi anak serta menumbuh-kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya. Dalam praktiknya sering sekali kasus perkosaan (pasal 285 KUHP) direduksi (diarahkan) menjadi sebagai kasus percabulan pasal (287 dan 290 KUHP), hal ini terutama bertujuan untuk meringankan hukuman pelaku, sebab pasal dalam 285 KUHP hukuman maksimalnya adalah 12 tahun, sementara pasal 287 hukuman maksimal 9 tahun dan pasal 290 hukuman maksimal 7 tahun dan jika kasus penganiayaan, (pasal 351) ancaman hukuman maksimal hanya dari 2,8-07 tahun (5 tahun jika berakibat luka berat dan 7 tahun bila korban meninggal). Lebih ironis, KDRT dikenakan pasal 335, sebagai perbuatan tidak menyenangkan dengan ancaman hukuman maksimal satu tahun atau denda maksimal Rp. 4.500,- Bila demikian hukum tidak berpihak.

Dalam KUHP hanya enam pasal yang berkaitan dengan kekerasan fisik dan seksual, dan kekerasan emosional satu pasal (pasal 335), sementara kekerasan ekonomi dalam KUH Perdata tidak ada secara spesifik diatur. Sayangnya lagi, kelemahan hukum juga dibarengi sensitifitas aparat penegak hukum

Kesimpulan dan Penutup

Secara singkat saya coba membuat kesimpulan dari isi makalah ini. Bentuk

kekerasan pada anak (KPA) dilihat dari sisi medis dapat digolongkan terutama ke

dalam kekerasan fisik dan seksual. Ditinjau dari pelaku kekerasan bisa dari orang tua

sendiri, kerabat, orang yang sehari-dekat dengan anak maupun orang lain yang tidak

dikenal. Alasan perlakuan kekerasan bisa karena unsur ketaksengajaan –yang

biasanya berlatar belakang upaya untuk mendidik anak-, kecelakaan maupun unsur

sengaja yang mengarah kepada kriminal. Dampak kekerasan pada anak bisa terjadi

pada jangka pendek maupun panjang, dari luka ringan hingga depresi mental

maupun kematian. Pengetahuan mengenai upaya-upaya untuk menghindari KPA

amat diperlukan agar anak dapat menjalani masa perkembangannya dengan baik.

Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Makalah ini hanya mengupas bagian amat

sedikit dari bentuk-bentuk KPA ditinjau dari segi medis. Semoga bisa membantu

para orang tua agar lebih arif dalam mendidik dan menjaga putra-putrinya.

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa ”KESEHATAN JIWA DITINJAU DARI SEGI KEKERASAN PADA ANAK” telah diselesaikan dan disempurnakan. Kekerasan pada anak – dalam artikel ini akan saya singkat sebagai KPA -merupakan topik yang hangat dibicarakan oleh media pada saat ini. Dalam artikel ini akan diuraikan tentang fenomena KPA ditinjau dari segi medis, selain itu apa dan bagaimana bisa terjadi KPA agar kita tahu mengapa kekerasan bisa terjadi. Pesan utama dalam artikel ini adalah tips-tips menghindari kekerasan fisik (dan seksual) terhadap anak.

Merawat orang sama tuanya dengan keberadaan umat manusia. Oleh karena itu perkembangan keperawatan, termasuk yang kita ketahui saat ini, tidak dapat dipisahkan dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan struktur dan kemajuan peradaban manusia. Kepercayaan terhadap animisme, penyebaran agama-agama besar dunia serta kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada mahasiswa dan bapak/ibu pengajar kami tetap mengharap masukan-masukan dari semua pihak yang membaca makalah kami agar dapat ditingkatkan sesuai dengan kesehatan jiwa ditinjau dari segi kekerasan pada anak.

0 komentar:

Posting Komentar