PENDAHULUAN
Kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak (KDRTA) bukanlah kasus yang tidak ada terjadi. Malah, berdasarkan monitoring PKPA di Sumatera Utara sejak 1999-sekarang, keluarga atau orang yang terdekat dengan anak justru merupakan pelaku kekerasan paling dominan terhadap anak. Bahkan kasus kekerasan yang dilakukan keluarga dalam banyak kasus termasuk kategori berat dan berakibat fatal bagi anak, seperti pembunuhan, penyiksaan hingga menyebabkan cacat seumur hidup atau bahkan meninggal. Demikian juga kasus incest atau hubungan seksual sedarah yang dilakukan berulang kali atau hingga berpuluh tahun terjadi. Sementara kasus-kasus kekerasan seperti memukul, menendang, mencambak, mencubit dan lain sebagainya mungkin setiap hari terjadi dan sudah dianggap sebagai hal biasa.
Masyarakat masih banyak menganggap KDRTA urusan "dapur" satu keluarga. Orang tua juga, tak sedikit, beranggapan bahwa anaknya adalah hak milik dan tanggung jawabnya hingga ia berhak melakukan apa saja, termasuk membantingnya karena kesal menyebabkan anak meninggal atau atas nama mendidik, membina dan melaksanakan tugasnya sebagai orang tua, anak sah-sah saja dihukum, dipukul, dimarahi, dicubit, dijewer hingga disiksa. Anak sejak kecil sudah diajarkan agar patuh dan taat kepada orang tua dengan cara kekerasan. Orang tua dalam menerapkan disiplin kepada anak sering tidak memperhatikan keberadaan anak sebagai seorang manusia. Anak sering dibelenggu aturan-aturan orang tua yang tidak rasional dan tanpa menghargai keberadaan anak dengan segala hak-haknya, seperti hak anak untuk bermain. Ini adalah kenyataan. Hirarki sosial yang diajarkan adalah hirarki otoriter, sewenang-wenang. Tak hanya di desa, tetapi juga di kota hal ini masih banyak terjadi. Tidak pula hanya oleh orang tua yang katanya tak sekolahan, orang tua yang terpandang di masyarakat ternyata juga ada sebagai aligator (pemangsa buas) atau penindas anak di rumah.
Kekerasan domestik (kekerasan dalam rumah tangga) oleh sebagian masyarakat kita tidak dianggap sebagai kejahatan. Inilah faktanya. KDRTA hanya dilaporkan atau dianggap sebagai masalah jika berakibat cedera parah atau meninggal. Hanya kasus dramatis dan berdarah-darah baru dinilai kejahatan. Luka memar kena bogem ayah atau anak berkepribadian pemalu karena di rumah selalu menghadapi tekanan orang tua tidak dianggap kejahatan. Lainnya, banyak masih menilai KDRTA sebagai persoalan individu per individu atau melokalisir tempat kejadian. Hanya kejadian di lingkungan anu, karena bapaknya tidak kerja, ibunya stress karena ditinggal suami, karena bapaknya ini itu dan beragam alasan pembenaran yang sesungguhnya secara hukum tidak bisa dibenarkan. Dalam kondisi dan situasi bagaimanapun anak tetap harus dilindungi, anak harus tetap disayangi, anak harus tetap dibina dalam nilai-nilai yang bijaksana. Kepentingan yang terbaik bagi anak, haruslah menjadi pertimbangan dan perhatian kita dalam setiap tindakan kepada anak.Masalahnya lagi, kita sering tidak mempercayai anak. Laporan anak tidak ditanggapi. Keluhan anak diabaikan, anak sebelum berbicara malah sudah disuruh diam dengan bentakan atau pukulan.
KESEHATAN JIWA DITINJAU DARI SEGI KEKERASAN PADA ANAK
Batasan istilah
Batasan KPA agak sulit untuk bisa didefinisikan dengan jelas. Ada yang menuliskan
bahwa kekerasaan pada anak meliputi makian, jeweran dan pukulan terhadap anak.
Sedangkan pada artikel yang lain disebutkan bahwa larangan orang tua terhadap
suatu aktivitas yang disukai anak sudah termasuk KPA. Karena batasan-batasan
tentang KPA tidak jelas, saya akan mencoba untuk mendefinisikan KPA sebagai
bentuk pembatasan hak-hak anak yang berdampak negatif terhadap perkembangan
anak. Mengapa saya memberikan batasan tersebut, akan saya uraikan dalam artikel
ini.
Bentuk, pelaku dan dampak KPA
Bentuk KPA yang terjadi banyak macamnya. Ditinjau dari akibat yang terjadi dari
segi medis bisa digolongkan dalam dua grup: kekerasan fisik dan kekerasan seksual.
Kekerasan paling sering dilakukan oleh anggota keluarga terdekat atau anggota
rumah, misal orang tua, saudara, atau paman. Peringkat kedua diduduki oleh pelaku
kekerasan di lingkungan anak, misal di sekolah, baik oleh guru atau teman sekolah,
teman bermain, tetangga atau kenalan. Pemerintah juga bisa dijadikan sebagai
pelaku kekerasan secara tidak langsung, dengan cara pemberlakuan undangundang
yang membatasi hak anak, ataupun tidak adanya penyediaan sarana buat
anak terutama anak yang cacat (fisik ataupun mental).
Dampak kekerasan yang menimpa anak ditinjau dari segi kesehatan misalnya luka
yang ringan, luka yang mengakibatkan kecacatan baik cacat fisik maupun cacat
secara seksual (misalnya kehilangan kegadisan), bunuh diri akibat depresi, ataupun
kematian baik yang disengaja maupun tidak.
Alasan-alasan yang mendasari timbulnya KPA
Alasan yang paling sering dikemukakan oleh pelaku (terutama orang tua) terhadap
tindakannya (kekerasan) terhadap anak adalah dalam rangka mendidik anak.
Misalnya anak melakukan perbuatan yang dipandang negatif oleh orang tua. Agar
anak tidak mengulangi perbuatan, kadang orang tua memaki atau menjewer, dalam
beberapa kasus sampai memukul anak. Pada kasus-kasus tersebut jarang terjadi
kekerasan fisik pada anak yang mengakibatkan dampak negatif pada anak dalam
jangka panjang.
Alasan kedua yang sering terjadi adalah pelaku ingin agar anak melakukan apa yang
diinginkan oleh pelaku. Yang membedakan alasan kedua dari alasan pertama adalah
motivasi pelaku dalam alasan kedua bukan karena pendidikan. Misalnya saja pelaku
merasa terganggu karena anak rewel terus. Agar anak menjadi diam, pelaku
menjewer anak. Alasan kedua sering menimbulkan dampak terhadap yang lebih
parah baik dari segi fisik maupun psikologi terhadap anak daripada alasan pertama.
Kekerasan fisik yang dilakukan oleh teman sekolah bisa dimasukkan dalam
golongan ini, sementara kekerasan yang dilakukan oleh guru bisa dimasukkan dalam
golongan pertama ataupun kedua.
Alasan yang ketiga adalah perbuatan kriminal, misalnya pembunuhan (secara
disengaja) ataupun kekerasan seksual. Alasan ketiga biasanya menimbulkan akibat
yang paling parah, misal kematian.
Pola KPA di Indonesia dan di Jerman
Pada prinsipnya pola kekerasan pada anak di Indonesia dan di Jerman hampir
sama. Kekerasan fisik pada anak sering terjadi pada masyarakat tingkat ekonomi
bawah. Penyebab kekerasan fisik lebih sering berkaitan dengan masalah stress
ekonomi atau lingkungan yang kurang kondusif, yang biasanya lebih dimiliki oleh
masyarakat tingkat ekonomi bawah. Penyebab lain adalah akibat indirek dari
kekerasan suami kepada istri (kekerasan dalam rumah tangga, yang sering disingkat
sebagai KDRT). KDRT mempunyai akibat langsung kepada istri, dan tidak langsung
kepada anak, misalnya
1) suami memukuli istri, suatu saat pukulannya malah mengenai anak akibatnya anak mati,
2) akibat KDRT istri jadi tertekan, dan sebagai pelampiasannya istri memukuli anak, akibatnya anak jadi sakit atau mati,
3) akibat KDRT istri jadi tertekan, si anak (bayi) jadi tak terurus, akibatnya anak/bayi sakit atau
mati. Perbedaannya, kekerasan fisik di Indonesia kadang menyebabkan kematian
pada anak, sedangkan di Jerman jarang menimbulkan kematian.
Suatu pola khusus yang banyak terjadi di Jerman adalah kekerasan seksual pada
anak yang berakibat kematian dan kekerasan fisik oleh teman sekelas. Menurut
pendapat saya, hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh televisi atau permainan
komputer. Di Jerman, pengaruh televisi atau permainan komputer saat ini jauh lebih
besar daripada di Indonesia. Saya memperkirakan jika di Indonesia pengaruh televisi
atau permainan komputer semakin parah, pola kekerasan yang sama bisa terjadi
juga di Indonesia.
Rasionalisasi pendidikan anak oleh orang tua
Untuk menjadi orang tua yang baik memang tidak gampang. Jika
terlalu keras dalam mendidik anak, perkembangan anak menjadi
negatif. Namun jika anak hanya diberikan kasih sayang, segala
keinginan anak dipenuhi, juga bukan solusi yang baik.
Ketika anak sudah mulai mengerti hal-hal konsepsual (biasanya
ketika anak menginjak umur 3 tahun), pada diri anak mulai muncul
paham ego. Anak mulai mengembangkan perasaan memiliki,
semua barang yang disekitar anak merasa dimilikinya. Ketika anak
melihat suatu barang, anak ingin memiliki dan berusaha untuk
memiliki. Pada fase perkembangan berikutnya, baru anak
mengembangkan perasaan superego, dimana anak mulai mengenali norma-norma
kehidupan (apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan). Jika fase ini gagal, maka
anak tidak pernah mengenal rasa bersalah atau rasa takut jika anak melakukan
suatu kesalahan. Disini anak mempunyai potensial untuk berkembang menjadi anak
nakal yang selalu melanggar norma agama, masyarakat atau peraturan negara.
Untuk itu orang tua harus membantu dalam proses perkembangan anak. Orang tua
harus memperkenalkan anak tentang norma-norma dan peraturan, dengan cara
mendidik anak. Hanya dengan cara demikian, anak bisa tumbuh menjadi orang yang
baik. Dalam mendidik anak, orang tua harus memberikan pengertian dan nasihat
kepada anak. Seringkali pengertian dan nasihat orang tua tidak cukup. Jika anak
tetap melakukan kesalahan yang sama yang berulang-ulang, tidak ada pilihan bagi
orang tua untuk memberikan hukuman. Bukankah orang dewasa juga dihukum jika
melanggar peraturan? Anak seharusnya diperkenalkan bahwa dia melakukan
kesalahan maka anak bisa dihukum.
Cara menghindari KPA:
1. Pemberian hukuman fisik yang tidak membahayakan anak
Jika anda sebagai orang tua merasa bahwa anak sering melakukan kesalahan yang
sama, dan segala macam nasihat maupun hukuman secara psikis tidak mempan,
dan anak perlu diberikan hukuman fisik, ada beberapa hal yang perlu anda
perhatikan:
a. Umur anak.
Bayi tidak boleh sedikitpun diberikan kekerasan fisik, apapun alasannya. Segala
macam kekerasan fisik pada bayi hanya akan menimbulkan akibat buruk kepada
bayi, dan sudah termasuk kejahatan.
Seperti yang disebutkan di paragraf atas, hukuman fisik hanya dapat diberikan jika
alternatif pendidikan yang lain sudah tidak mempan. Sampai umur 4-5 tahun
sebaiknya anak tidak diberikan hukuman fisik. Pelaku hukuman pun sebaiknya
dibatasi kepada pendidik langsung anak (misalnya hanya orang tua saja).
Frekuensinya pun tidak boleh berlebihan. Biasanya dengan 1 atau maksimal 2 kali
jeweran anak sudah cukup jera.
Hukuman fisik pun hanya boleh dilakukan jika anak belum beranjak dewasa/puber.
Pada taraf tersebut hukuman fisik tidak mempan lagi. Nasihat atau komunikasi
biasanya lebih bermakna.
b. Hukuman fisik apa tidak boleh diberikan?
Anggota badan yang sama sekali tidak boleh menerima kekerasan fisik adalah
kepala (yang berakibat pada gangguan otak, organ terpenting pada manusia). Selain
itu sebaiknya dihindari kekerasan pada dada karena didalam dada terdapat 2 organ
penting: jantung dan paru-paru. Terutama paru-paru amat rentan terhadap benturan
yang bisa mengakibatkan gangguan pernafasan. Yang juga dihindari adalah
kekerasan pada bagian perut, karena didalamnya terdapat organ pencernaan, hati,
limpa, pankreas, ginjal dan saluran kencing, serta organ peranakan pada wanita
(ovarium dan uterus). Yang perlu diingat adalah, tidak seperti dada, perut tidak
memiliki tulang yang bisa melindungi organ-organ didalamnya, sehingga perut cukup
rentan juga terhadap benturan.
Organ lain yang juga cukup penting adalah tangan dan kaki. Hukuman fisik dalam
taraf sedang pun bisa mengakibatkan kecacatan pada anak walau biasanya tidak
membahayakan jiwa.
Seringkali kita mendengar atau membaca di media tentang hukuman fisik yang
dilakukan dengan suatu alat, misalnya dengan tongkat atau sabuk. Pemberian
hukuman tidak boleh dilakukan dengan menggunakan alat bantu, karena kwalitas
benturan dengan alat bantu lebih parah daripada dengan tangan kosong.
c. Hukuman yang boleh: jeweran pada pantat, paha, lengan atau telinga.
Jeweran pada pantat, paha, lengan atau telinga sudah cukup menimbulkan rasa
sakit, namun tidak menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan kesehatan
anak. Dengan hukuman tersebut, biasanya anak sudah cukup jera. Frekuensi yang
diberikan pun hanya boleh 1-2 kali saja, tidak boleh sering, dan jangan memberikan
jeweran yang terlalu dalam karena bisa mengenai syaraf yang bisa berakibat fatal.
Jika anda memperhatikan bahwa anak tidak jera setelah diberikan jeweran, dan
anda sudah terlalu sering memberikan hukuman, berarti makna hukuman fisik sudah
tidak mempan, maka anda seharusnya pergi ke psikolog atau ke pemuka agama
untuk mendapatkan saran-saran dalam mendidik anak. Misalnya anak sudah
kecanduan obat-obatan, melakukan tindakan kriminal kecil-kecilan, dimana hukuman
fisik ringan tidak bisa lagi menyelesaikan masalah, maka hukuman fisik berat juga
tidak akan membantu menyelesaikan masalah.
2. Menghindari kekerasan seksual pada anak
Kekerasan seksual pada anak seringkali dilakukan tidak hanya
oleh pelaku asing, namun juga bisa oleh kerabat dekat, misalnya
paman, kakek atau bahkan guru sekolah. Kekerasan seksual
sering menimpa anak perempuan walau tidak jarang anak laki-laki
pun bisa terkena. Kadang kita tidak menyadarinya karena anak
tidak pernah bercerita. Sementara anak tidak mengerti bahwa
perbuatan meraba-raba alat kelamin yang dilakukan si pelaku
adalah terlarang karena biasanya pelaku akan membujuk si anak.
Lalu apa tindakan kita untuk mencegah hal tersebut? Pertama-tama kita harus
memberikan pendidikan seksual yang benar kepada anak secara dini. Si anak mulai
diajarkan untuk mengenali alat kelaminnya. Jika anak sudah mulai mengenal, maka
anak bisa mengerti apakah seseorang berlaku kurang sopan terhadapnya atau tidak.
Kedua: jika kita terpaksa menitipkan anak kita kepada seseorang, lebih baik titipkan
anak kepada kenalan perempuan, misalnya ibu teman anak anda. Biasanya
perempuan jarang melakukan kekerasan seksual. Ketiga: Rangsang anak anda
untuk bercerita tentang aktivitas sehari-hari, baik di sekitar rumah dengan temantemannya
maupun di sekolah. Jika memang pelaku melakukan perbuatannya,
kadang si anak terceplos ketika dia bercerita kepada ibunya. Keempat: pada saat
anda memandikan anak anda, berikan juga perhatian kepada daerah sekitar alat
kelamin. Jika ada lebam atau memar atau anak meringis kesakitan jika anda
menyentuh daerah tersebut, anda harus periksa lebih teliti dan jika perlu bawa ke
dokter.
3. Menghindari kekerasan dari lingkungan.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kekerasan tidak selalu muncul dari keluarga,
namun juga dari lingkungan, misalnya lingkungan bermain anak atau sekolah.
Pelakunya bisa dari tetangga, teman atau guru. Biasanya anak tidak berani bercerita
kepada orang tua karena takut ancaman dari pelaku.
Satu hal yang bisa membantu dalam menghindarinya adalah rangsang anak untuk
bercerita tentang pengalamannya (atau apa saja yang dia lakukan) pada hari itu
bersama temannya atau disekolahnya. Dengarkan apa yang diceritakan tanpa
memberikan suatu komentar, sehingga anak mempunyai keberanian untuk bercerita
tanpa rasa takut. Jika anak bercerita bahwa dia baru saja dipukul oleh teman atau
gurunya, jangan telan mentah-mentah dan hal tersebut harus ditangani dengan
kepala dingin. Cek dengan seksama cerita anak tersebut (bisa saja lho anak anda
yang berbohong). Jika hal tersebut dilakukan oleh teman anda, anda bisa
memperhatikan ketika anak bergaul dengan temannya. Jika itu dilakukan oleh guru,
mungkin anda bisa mengecek dengan cara bertanya kepada teman anak anda yang
mungkin melihat peristiwa tersebut. Jika hal tersebut benar adanya, baru anda boleh
bertindak.
Hukum kurang berpihak
Tidak hanya sistem atau budaya dalam masyarakat yang banyak merugikan anak, hukum yang semestinya melindungi justru merugikan dan itu karena status mereka anak-anak atau perempuan. Sebagai anak, mereka belum diakui kapasitas legalnya (legal capacity). Dalam kasus KDRTA dimana pelakunya adalah extended family (keluarga terdekat), terutama ayah-ibu, selain alat bukti yang dimungkinkan tidak cukup, juga untuk kasus tertentu seperti perkosaan (pasal 287 KUHP), jika anak berumur dibawah 15 tahun maka kasusnya merupakan delik aduan, yang berarti suatu kasus sangat mungkin tidak terungkap dan kalaupun diadukan sewaktu-waktu dapat dicabut oleh si pengadu, akibat dipengaruhi atau anak mengalami tekanan psikologis dari keluarganya.
Demi menjaga aib keluarga, karena takut kepada orang tua atau karena tidak tahu harus melapor kemana, kasus itu bisa dipendam oleh si anak. Juga bila telah dilaporkan, anak dapat dipaksa mencabut pengaduannya. Lalu, jika kasusnya incest dan terjadi pada anak berusia belum cukup 12 tahun, siapa saksi atau pelapor? Atau bahkan pada usia di atasnya, apakah ia berani melapor ? Apalagi yang dilaporkan ayahnya. Tentu tidak. Hanya jika si anak sudah menderita depresi berat baru orang lain mungkin mengetahui, ketika secara pisik dan psikis anak mengalami perubahan Bahkan dalam banyak kasus perkosaan ayah kepada anaknya kesaksian orang dewasa (termasuk ibu si anak atau keluarga lain) sering hanya bersifat mendengarkan dari orang lain (de auditu) sehingga secara material tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti, apalagi saksi hanya satu orang. Benar, visum et repertum bisa dijadikan sebagai alat bukti lain, akan tetapi bukankah kerusakan selaput dara tidak harus akibat ada penetrasi ke vagina perempuan dan bagaimana pula jika perbuatan itu tidak sampai mengakibatkan robeknya selaput dara korban atau telah berlangsung lama dan alat bukti lain (petunjuk) sudah tidak ada? Bukankah juga di Indonesia belum memiliki UU perlindungan saksi, hingga untuk kasus KDRT jarang sekali ada orang yang mau bersaksi di kepolisian atau pengadilan untuk membela anak, karena orang merasa direpotkan atau malah terancam jiwa dan keluarganya jika menjadi saksi suatu kasus, bahkan dari saksi menjadi tersangka. Secara yuridis formal (hukum) kesaksian anak-anak sebagai korban atau saksi korban tidak cukup kuat untuk dijadikan alat bukti.
Dalam KUHAP dinyatakan, syarat sahnya suatu kesaksian apabila saksi tersebut disumpah. Sementara dalam KUHAP juga dinyatakan, anak-anak tidak dibenarkan untuk disumpah dan dalam pasal 185 KUHAP ditegaskan: keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti. Itu berarti bahwa kalaupun keterangan si anak sebagai korban atau saksi korban sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah sifatnya namun hanya sebagai tambahan alat bukti yang sah.
Dalam pasal 287 KUHP mengenai pengaduan juga tidak dijelaskan siapa yang berhak mengajukannya. Hanya dijelaskan: dianggap bahwa yang berhak itu adalah perempuan yang menderita itu. Sementara pasal 72 KUHP menyatakan jika orang tersebut umurnya belum cukup 16 tahun dan belum dewasa yang berhak mengadu ialah wakilnya yang sah dalam perkara sipil. Delik aduan inipun diposisikan sebagai delik aduan relatif, padahal pasal yang digunakan adalah pasal delik aduan absolut, yang berarti menuntut peristiwanya, bukan pelaku utamanya saja, sebab KDRTA seringkali terjadi sebagai kasus berulang-ulang bahkan sistemik. Bukankah pasal 20 UU Perlindungan Anak menyatakan: negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berwajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak?
Dalam pasal 26 juga dinyatakan: orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, melindungi anak serta menumbuh-kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya. Dalam praktiknya sering sekali kasus perkosaan (pasal 285 KUHP) direduksi (diarahkan) menjadi sebagai kasus percabulan pasal (287 dan 290 KUHP), hal ini terutama bertujuan untuk meringankan hukuman pelaku, sebab pasal dalam 285 KUHP hukuman maksimalnya adalah 12 tahun, sementara pasal 287 hukuman maksimal 9 tahun dan pasal 290 hukuman maksimal 7 tahun dan jika kasus penganiayaan, (pasal 351) ancaman hukuman maksimal hanya dari 2,8-07 tahun (5 tahun jika berakibat luka berat dan 7 tahun bila korban meninggal). Lebih ironis, KDRT dikenakan pasal 335, sebagai perbuatan tidak menyenangkan dengan ancaman hukuman maksimal satu tahun atau denda maksimal Rp. 4.500,- Bila demikian hukum tidak berpihak.
Dalam KUHP hanya enam pasal yang berkaitan dengan kekerasan fisik dan seksual, dan kekerasan emosional satu pasal (pasal 335), sementara kekerasan ekonomi dalam KUH Perdata tidak ada secara spesifik diatur. Sayangnya lagi, kelemahan hukum juga dibarengi sensitifitas aparat penegak hukum
Kesimpulan dan Penutup
Secara singkat saya coba membuat kesimpulan dari isi makalah ini. Bentuk
kekerasan pada anak (KPA) dilihat dari sisi medis dapat digolongkan terutama ke
dalam kekerasan fisik dan seksual. Ditinjau dari pelaku kekerasan bisa dari orang tua
sendiri, kerabat, orang yang sehari-dekat dengan anak maupun orang lain yang tidak
dikenal. Alasan perlakuan kekerasan bisa karena unsur ketaksengajaan –yang
biasanya berlatar belakang upaya untuk mendidik anak-, kecelakaan maupun unsur
sengaja yang mengarah kepada kriminal. Dampak kekerasan pada anak bisa terjadi
pada jangka pendek maupun panjang, dari luka ringan hingga depresi mental
maupun kematian. Pengetahuan mengenai upaya-upaya untuk menghindari KPA
amat diperlukan agar anak dapat menjalani masa perkembangannya dengan baik.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Makalah ini hanya mengupas bagian amat
sedikit dari bentuk-bentuk KPA ditinjau dari segi medis. Semoga bisa membantu
para orang tua agar lebih arif dalam mendidik dan menjaga putra-putrinya.
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa ”KESEHATAN JIWA DITINJAU DARI SEGI KEKERASAN PADA ANAK” telah diselesaikan dan disempurnakan. Kekerasan pada anak – dalam artikel ini akan saya singkat sebagai KPA -merupakan topik yang hangat dibicarakan oleh media pada saat ini. Dalam artikel ini akan diuraikan tentang fenomena KPA ditinjau dari segi medis, selain itu apa dan bagaimana bisa terjadi KPA agar kita tahu mengapa kekerasan bisa terjadi. Pesan utama dalam artikel ini adalah tips-tips menghindari kekerasan fisik (dan seksual) terhadap anak.
Merawat orang sama tuanya dengan keberadaan umat manusia. Oleh karena itu perkembangan keperawatan, termasuk yang kita ketahui saat ini, tidak dapat dipisahkan dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan struktur dan kemajuan peradaban manusia. Kepercayaan terhadap animisme, penyebaran agama-agama besar dunia serta kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada mahasiswa dan bapak/ibu pengajar kami tetap mengharap masukan-masukan dari semua pihak yang membaca makalah kami agar dapat ditingkatkan sesuai dengan kesehatan jiwa ditinjau dari segi kekerasan pada anak.
0 komentar:
Posting Komentar